Satu hal yang membuat saya tertarik untuk mengeksplorasi beberapa rumah ibadah di Medan adalah karena kota ini sangat multikultural. Berbagai agama, ras, etnis, tinggal berdampingan. Menurut saya, itu indah banget. Selain itu, Medan juga memiliki sejarah yang menarik. Sebagai ibukota Sumatera Utara, Medan menjadi tempat orang Melayu, orang India, orang Cina, dan etnis lainnya untuk bermukim. Kebersamaan ini telah terjalin selama berpuluh tahun. Buktinya? Rumah ibadah tua dan beberapa area kota tua di Medan.
Salah satu rumah ibadah yang saya datangi pada akhir Oktober 2020 lalu adalah Kuil Shri Mariamman yang didirikan tahun 1884 Masehi. Saya ke sana ketika suami sedang mengikuti acara bersama Bank Indonesia. Mumpung ada waktu 5 jam, saya izin kepadanya untuk menyewa motor dan berkeliling Kota Medan… sendirian! Kuil Shri Mariamman ini menjadi destinasi pertama saya karena jaraknya dekat dengan hotel.

Kuil ini terletak di area Little India. Dulunya, area ini disebut Kampung Keling atau Kampung Madras. Sebetulnya, sebutan Kampung Keling tuh kurang enak di dengar, karena agak menjurus ke warna kulit gitu. Nah, daerah ini sekarang lebih akrab disebut Little India karena memang banyak dihuni oleh warga dari India. Saya kurang tahu dari India mana, ya, karena saya nggak sempat bercakap-cakap lama (pandemi, gituuu). Mungkin kamu bisa googling sendiri, deh. Trus, penamaan ini sepertinya juga memerhatikan kebutuhan branding wisata, ya, karena di berbagai negara lain seperti Singapura, Malaysia, bahkan Amerika selalu ada area yang dihuni oleh warga dengan etnis homogen dan diberi nama “Little blablabla”. Yang jelas, berada di Little India membuat saya teringat dengan Kuala Lumpur dan pemilik serta pegawai di toko kain Zenko, Jalan Solo, Jogja! Hehehe.
Di sepanjang jalan, ada banyak pertokoan dan ada juga hotel. Tidak banyak atraksi menarik di sini. Sebelumnya, saya membayangkan desain pedestriannya minimal dibuat tematik seperti di Jalan Tunjungan, Surabaya. Ternyata, tidak. Yah, ini memang erat kaitannya dengan sentuhan pemimpin, sih.. ehehe.
Satu-satunya yang menarik hati saya (setidaknya saat itu) di Little India hanya Kuil Shri Mariamman. Kendati sama-sama digunakan untuk peribadatan umat Hindu, kuil ini berbeda dengan tempat ibadah umat Hindu yang biasa saya temukan di Jawa dan Bali.
Corak India yang Kental
Mungkin karena didominasi oleh keturunan India, arsitektur dan interior Kuil pun dibuat “sangat India”. Warna yang bold dan meriah, ukiran yang sangat detail, bunga-bungaan, patung lembu atau sapi di bagian atas bangunan, arca dan penggambaran kejadian penting dalam Dewa-Dewa Hindu yang dicat penuh warna. Sayang sekali nggak ada tour guide, jadi saya kurang paham dan tidak bisa dapat penjelasan detail tentang makna tiap ukiran dan arca.



Bangunan utama yang digunakan untuk beribadah tidak terlalu luas dan desain ruangannya terbuka, tidak ada AC. Di bagian depan, terdapat 3 dewa lengkap dengan sesajinya dan ada pula ruangan khusus pendeta. Di area ini, kita nggak boleh ngerekam dan motret. Oh, ya, ada pula kota amal. Menurut cerita penjaga kuil, para jamaah sangat loyal. Saya bisa memahami ini karena kuil tampak bersiiihhh dan terlihat sangat terawat.
Bagian yang saya suka dari kuil ini adalah banyak reka peristiwa di sekeliling bangunan utama. Sayangnya, reka peristiwa tersebut hanya menyematkan nama tanpa adanya penjelasan. Jadi, kalau mau memahami agak repot, kudu googling dulu, hehehe.
Saya sampai di Kuil Shri Mariamman sekitar waktu dhuhur. Situasi di sana amat sepi, hanya saya satu-satunya pengunjung dan sisanya para pekerja yang sedang merenovasi area dalam kuil. Menurut para penjaga, kuil ramai kalau waktunya ibadah saja, biasanya pagi hari. Pendatang sudah sangat berkurang sejak pandemi.
Menjaga Kesopanan
Semua rumah ibadah memiliki aturan, tidak terkecuali Kuil Shri Mariamman. Di bagian depan, ada Arca Tuwarasakti pada kanan dan kiri pintu masuk dan relief Dewa Siwa di bagian atas pintu. Arca Tuwarasakti ini digambarkan tersenyum, tetapi, pose tangannya menunjukkan kewaspadaan. Menurut saya, ini salah satu arti bahwa pengunjung harus menjaga tata krama.
Pengunjung yang ingin berjalan-jalan di dalam kuil harus melepas sepatu terlebih dahulu dan meletakkan di rak yang telah disediakan. Perempuan yang sedang haid pun dilarang masuk kuil.



Penghormatan terhadap Perempuan
Saya di sini hanya sebentar dan tidak sempat melahap banyak cerita serta sejarah Kuil Shri Mariamman ini. Hanya saja, ada yang berbeda. Biasanya, di berbagai candi Hindu Jawa, penjaga pintu itu bermuka seram, membawa gada besar, bertaring tajam, dan merupakan perpaduan antara tubuh manusia dan kepala binatang.
Tapi, penjaga pintu kuil ini adalah dua Arca Tuwarasakti, perempuan cantik yang memiliki 4 tangan. Dia membawa trisula, gada, pasa, dan posisi telapak tangan yang memberi kesan waspada. Saya yakin pasti ada alasan mengapa Kuil Shri Mariamman ini “memilih” Tuwarasakti sebagai penjaga. Mungkin karena alasan emansipasi, ya, karena kuil ini dibangun untuk memuja Dewi Shri Mariamman. Setelah baca-baca, Dewi Shri Mariamman ini dianggap sebagai pelindung. Saya kurang tahu kebenarannya, jika kamu tahu, please kasih komen, yaa..
Selain itu, pada dua sisi di kanan dan kiri pintu, terdapat reka peristiwa pernikahan. Ada Shri Parvati Marriage, pernikahan antara Dewi Parwati dan Dewa Siwa. Sementara pada bagian kiri pintu, ada Shri Laxmi Marriage atau pernikahan antara Dewi Laksmi dan Dewa Wisnu. Pemilihan kalimatnya menekankan pada perempuan sebagai subyeknya, ya. Menarik, bukan? Saya tidak memotret detailnya karena backlight dan saya bertubuh pendek. Itu arcanya lumayan tinggi, lho, posisinyaa huhu. Jadi, saya mendokumentasikan dalam bentuk rekaman video. Cek di sini, ya!
Soal Parkir dan Kunjungan saat Pandemi
Saat meminjam sepeda motor, saya diwanti-wanti sama pemilik persewaan untuk memarkir motor di area yang ada jukirnya secara jelas. Karena katanya, di Medan rawan curanmor. Bahkan, saya dibekali gembok khusus untuk ban jika saya mengunjungi area yang tidak ada jukirnya. Waduh!
Nah, gara-gara itu, saya pun terpaksa parkir agak jauh. Saya memilih di depan indomaret karena sudah jelas ada jukirnya yang berbayar. Di depan kuil ada mas-mas yang nawarin parkir, sih, tetapi nggak berseragam dan ingah-ingih. Saya jadi nggak yakin… Lalu, soal protokol kesehatan, menurut saya, kurang dijalankan dengan baik oleh para penjaga kuil. Entah saat ibadah seperti ada, ya, aturan dan himbauan, sih, sudah ditempel di muka pintu. Tetapi, saat saya ke sana, para penjaga tidak bermasker. Ada yang bercakap-cakap dengan saya, maskernya sedang turun di leher, baru ketika kami ngobrol, ia memakai maskernya. Mungkin sungkan dengan saya hehehe. Saya sendiri, karena di sana sepi dan tak ada pengunjung lain, melepas masker untuk kebutuhan dokumentasi aja. Setelah itu ya buru-buru saya kenakan lagi. Jika kamu sedang berencana traveling saat pandemi ini, please tertib dengan prokes, yaa.

Oh, ya, katanya, sih, di sepanjang Kampung Madras ini banyak pilihan kuliner lokal yang lezat. Sayangnya, saya belum sempat mencicipinya. Saya juga belum sempat ke masjid yang berdekatan dengan area kuil, karena ternyata, di daerah Little India ini penduduknya nggak cuma penganut agama Hindu tetapi ada juga yang muslim/ah. Mungkin lain kali, kalau saya kembali ke Medan, Insyaa Allah.
Pingback: Menjadi Traveler Ramah Lingkungan, Bisa Kita Mulai dari Sekarang