Siap Menapaki Karir Internasional Berbekal Kompetensi Global Karir global sudah bisa kita raih di depan mata. Kemajuan teknologi dan ekonomi abad ini telah menciptakan era integrasi global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mulai dari Zoom… Selengkapnya »Siap Menapaki Karir Internasional Berbekal Kompetensi Global
“We are so lucky today because we saw Cappadocia in a different way. Here’s everyone, I present to you, Cappadocia in a wedding dress! Very beautiful!“
Preet.. batinku. Ini tour guide kami boleh juga lah gombalnya buat menghibur hati kami karena nggak bisa melihat balon udara di Cappadocia yang ikonik dan nggak bisa main salju di gunung Erciyes karena sedang ada badai salju.
Jadwal ke Cappadocia seharusnya menjadi puncak kunjungan. Kami bahkan tinggal lebih lama di hotel, yakni dua malam. Lebih lama dibanding durasi waktu di kota-kota lainnya. Kurasa pihak tur memberi waktu dua hari untuk menyesuaikan jadwal balon udara yang bisa batal tiba-tiba karena cuaca buruk. Fyi, ada dua kota di Turki yang menyediakan tour hot air balloon yakni di Pamukkale dan Cappadocia. Nah, yang di Cappadocia ini resmi dikelola pemerintah. Aturan mainnya lebih ketat. Kalau ada cuaca buruk atau ada angin yang nggak cocok sedikit aja, balon udara gak boleh terbang.
Meskipun jadwal nyaris berantakan dan ada insiden yang tidak mengenakkan dengan anggota tur lainnya, Cappadocia tetap menawan buat saya.
Saya teringat pagi itu sangat cerah di Kusadasi. Kami sempat bermalam di hotel tepi pantai. Serap, Tour Guide kami, mengatakan bahwa Kusadasi sangat menyenangkan untuk dinikmati kala musim panas. Tentu karena pesona Aegean Sea. Namun, sebetulnya Kusadasi lebih dari itu. Kusadasi sangat berdekatan dengan Izmir dan Selcuk, dimana di wilayah tersebut juga banyak sisa peradaban yang bisa kita nikmati. Selain itu, kusadasi juga memiliki banyak jeruk fresh mulai dari yang kecut dan menjadi hiasan di tepi jalan hingga yang manis dan bermanfaat untuk kesehatan.
Serap menyayangkan kami hanya sejenak di Kusadasi. Jika ada waktu, dia ingin menunjukkan House of Virgin Mary dan Isa Bey Mosque. Dia kemudian berkata kembali kalau agak mustahil mengunjungi House of Virgin Mary karena lokasinya yang tidak sejalan dengan destinasi selanjutnya. Meski begitu, dia keukeuh untuk menunjukkan Isa Bey Mosque kepada kami. Baginya, sebagai ummat muslim kami harus menyaksikan kemegahannya dengan mata kepalanya sendiri.
Rasa penasaran saya mulai terpantik ketika Serap mengatakan, “Masjid ini berdekatan dengan gereja.” Hm.. menarik!
Eskisehir memberi kesan yang sangat baik untuk saya.
Saat itu matahari hampir terbenam saat kami tiba di Hotel Anemon Eskisehir. Seingat saya, selama di Turki, di kota inilah kami tiba di hotel cukup dini. Biasanya, bisa gegoleran di hotel selalu setelah matahari terbenam, bahkan tengah malam karena cuaca yang buruk. Keberuntungan ini didukung dengan jarak antara Bursa ke Eskisehir yang cukup dekat, hanya sekitar 2 jam perjalanan. Kami berangkat dari Bursa kira-kira pukul 2 siang, jadi sampai di Eskisehir sekitar pukul 4 sore.
Mbak Serap memberi tahu kami bahwa lokasi hotel tepat berada di depan mall. Bukan mall yang besar, sih, tapi di sana ada Carrefournya. Pas! Kebetulan saya lagi mencari deodorant dan kapas.
Sebagaimana di kota lainnya, kami di sini hanya menginap semalam. Keesokan harinya, kami akan mengunjungi Sazova Natural Park dan Odunpazari. Nggak banyak tujuan dan nggak bisa berlama-lama di kota ini, sebab setelah dari Eskisehir kami akan melaju ke Kusadasi. Perjalanan yang diperlukan sekitar 6 jam.
Sayang banget sebetulnya, padahal dua tempat wisata di Eskisehir ini “Instagram Heaven” banget. Selain itu, kota ini juga menyimpan sejarah penting pada Era Byzantine, Seljuk, dan Ottoman.
Saya paham, yang namanya buah tangan itu bukan sesuatu yang wajib. Sebagian traveler malah nggak bakal tuh yang namanya beli oleh-oleh buat orang lain, kecuali inner circle aja. Tapiiii.. ini Indonesia gitu, loh! Keguyuban kita membangun konstruksi bahwa membawa oleh-oleh adalah kewajiban para pejalan.
Selama di Turki kemarin, saya hanya membeli oleh-oleh khas Turki untuk keluarga. Untuk saya sendiri, saya hanya beli buku, pashmina, dan pembatas buku. Baju, coat, sepatu, dan apapun itu lah yang berbau fesyen khas Turki, saya sama sekali ga beli. Beda banget sama saya yang dulu kalap belanja saat di Jepang. Mungkin karena barangnya kurang lucu, ya. Atau mungkin juga karena ada pergeseran nilai yang saya anut. Hihi.
Nah, kali ini saya mau berbagi trik berbelanja oleh-oleh di Turki. Tulisan ini menurut pandangan saya yang berkeliling Turki dengan menggunakan jasa perusahaan tour yakni Cheria Holiday.
Saya kurang paham mengapa para penguasa Ottoman dan orang Turki gemar menamai masjid dengan merujuk pada warna interior masjid. Misalnya, Blue Mosque dan Green Mosque. Mungkin karena agar lebih mudah diingat dan ada manfaat jangka panjang ya, yakni menarik minat wisatawan. Sotoy mode on haha. Kalau Blue Mosque kan nama asli masjidnya adalah Masjid Sultan Ahmed lha kalau di Green Mosque ini nama aslinya memang green atau Yesil dalam bahasa Turki.
Dinamakan Green Mosque karena interiornya berwarna hijau. Saya kurang mengamati interior masjid karena saat saya ke sana, ruang utama masjid sedang digunakan para lelaki untuk persiapan shalat jumat. Saya sempat memotretnya seusai shalat masjid, itupun hanya sebentar karena sungkan. Sementara warna bangunan luarnya hampir mirip dengan Grand Mosque yang berwarna cream muda dan terkesan sangat tua sekaligus kokoh. Arsitekturnya khas gaya Ottoman yang memiliki kubah dengan diameter yang sangat lebar dan menara yang sangat tinggi.
Sudahkah saya bercerita kepadamu bahwa sebelum saya menikmati salju tebal di Turki, saya pernah bertemu dengan salju sebelumnya? Pertama kali saya melihat butiran salju yang turun dari langit dan menyelimuti pucak bukit saat berada di Hiroshima, Jepang pada tahun 2013. Salju yang saya lihat dulu tidak sepadat yang saya lihat di Turki, sebab memang baru permulaan saja. Berbeda dengan salju di Turki yang saat saya ke sana, sedang dalam masa keemasannya
Meski sedang dalam puncak musim, saya tidak mendapati salju di kota Istanbul saat musim dingin. Yang ada hanya hujan lebat, awan gelap, dan angin kencang. Dinginnya sih sama, menusuk kulit! Berbeda dengan kota tetangganya, Bursa, yang menjadi kota pertama yang kami jelajahi.
Mendengar kata Istanbul, apa yang ada dipikiranmu pertama kali? Mayoritas akan mengatakan lokasi wisata yang tergabung dalam satu kompleks: Hagia Sophia, Blue Mosque atau Masjid Sultan Ahmed, dan Topkapi Palace. Beberapa lainnya mungkin akan teringat dengan Grand Bazaar atau kudapan khas lokal.
Nggak salah, memang hal-hal tersebut yang wajib dikunjungi saat traveling di Istanbul. Nah, gimana kalau sudah jauh-jauh ke Istanbul tapi nggak bisa ke tempat-tempat bersejarah itu? Rasa kecewa pasti ada, bukan? Sama halnya yang terjadi pada saya.
“I hate Istanbul, My Dear. Everything is expensive and too crowded. I’m glad I’m living in Asian part, it’s more quiet than European Part.”
Begitu kata Mbak Serap, tour guide kami selama di Turki. Saya bisa memaklumi kejenuhannya tinggal di Istanbul yang kepadatan dan macetnya seperti Jakarta. Sebagai wisatawan, saya tentu merasa hepi-hepi aja bisa ke Istanbul dan bisa melihat keindahan kota dua benua ini. Tapi kalau boleh jujur, Istanbul memberikan kesan penutup yang kurang menyenangkan. Kendati demikian, tentu tetap banyak hikmah yang bisa saya ambil atas pengalaman selama dua malam di Istanbul. Ah, sungguh kota padat yang biasa saja sekaligus istimewa buat saya.