Lompat ke konten

Tidak ada seorang pun yang ingin menjalani hidup dengan rasa trauma. Saya tidak pernah menduga bahwa perjalanan awal menjadi ibu terasa begitu berat. Kehamilan dan proses melahirkan anak pertama saya jalani dengan penuh air mata. Anak kedua pun tak jauh berbeda. Kelelahan, tekanan dari berbagai sudut, merasa powerless dan sendiri membuat otak saya aktif memanggil memori-memori buruk yang saya alami ketika masih anak hingga remaja. 

Pada titik itu saya sadar, saya memiliki trauma masa kecil yang sejak dulu tidak pernah saya akui keberadaannya. Parahnya, semua itu muncul pada saat saya berada di titik terendah. Situasi yang pelik membuat saya semakin kesulitan mengatasi trauma masa kecil.

Saya seperti menemukan jalan lama yang penuh semak belukar. Bedanya, jalan itu kini terang benderang dan membuat saya mampu melihat lebih jelas peristiwa yang saya alami dan memahami perasaan saya saat itu. Sekarang saya paham ketika pengajar pada kelas Neuroscience for Parent yang saya ikuti di Udemy mengatakan bahwa “memories never lost”. Tidak ada kenangan yang benar-benar hilang, kita hanya kehilangan akses ke sana. Dan sayangnya, rasa trauma dapat membuka kembali akses itu.

Berbagai emosi pun muncul. Penyesalan, amarah, dan kecewa. Saya merasa terseret dalam kelabu pekat. Terkadang saya kesulitan mengendalikan diri. Akibatnya, saya cenderung melukai diri sendiri dan merusak sekitar.

mengatasi trauma masa kecil, pentingnya ibu yang bahagia, alasan ibu harus bahagia, trauma setelah berkeluarga, trauma pada ibu setelah berumahtangga

Pertolongan profesional saya pilih untuk membantu saya agar hati saya dan rumah kami kembali cerah. Itu semua tidak akan terwujud jika saya sendiri sebagai ibu masih kesulitan mengendalikan emosi dan memberikan negative vibes kepada anak-anak. Namun, ini bukanlah ikhtiar yang sekali jadi lalu selesai. Saya mengikuti 7x sesi pertemuan dengan dua psikolog yang berbeda. Setelahnya, saya juga mengambil sesi dengan psikiater dan ini masih saya lakukan sampai sekarang. 

Alhamdulillah, saya mengalami kemajuan yang menurut saya cukup baik. Kendati demikian, ini bukanlah progress yang konstan. Saya masih sering mengalami naik turun. Namun, saya lebih bisa mengendalikan diri dan pikiran. Pada satu sisi, saya bersyukur menyadari bahwa trauma masa kecil ini ada pada diri saya. Sebab, ini membuat saya berhasil belajar menjadi orang tua yang lebih mindful dan bahagia dalam mendidik anak. 

Pada tulisan ini, saya akan bercerita perjalanan saya menerima dan menghadapi trauma dengan cara P.U.L.I.H. Saya harap tulisan ini bermanfaat untuk Ibu sekalian, terutama untuk Ibu yang mengalami masalah kesehatan mental. Saya hanya ingin memberi semangat bahwa kita bisa pulih, Bu. Kita akan baik-baik saja, kita bisa melaluinya.

Kok Bisa Trauma? Kurang Bersyukur, ya?!

Sebelum saya bercerita tentang pengalaman pribadi, saya ingin kita sepaham dulu tentang definisi trauma. Sebab, masih banyak orang yang mengira bahwa trauma adalah pilihan kita. Ini membuat orang yang mengalami trauma mendapat tuduhan tidak bersyukur, kurang beribadah, tidak tahu diri, dan banyak lagi. Padahal, trauma bukanlah hal yang dapat kita pilih. 

Menurut American Psychological Association (APA), trauma adalah respons emosional terhadap peristiwa mengerikan. Very Well Family memberi penjelasan lebih rinci bahwa trauma bisa datang dalam berbagai bentuk, tetapi, ada beberapa hal yang umumnya dianggap sebagai pemicu trauma. Beberapa jenis peristiwa traumatis yang mungkin dialami seseorang di beberapa titik hidup mereka dapat Ibu lihat pada gambar di bawah ini.

mengatasi trauma masa kecil, pentingnya ibu yang bahagia, alasan ibu harus bahagia, trauma setelah berkeluarga, trauma pada ibu setelah berumahtangga

Trauma ini memberi dampak pada kemampuan seseorang untuk berinteraksi dan menjalankan aktivitas sehari-hari. Trauma dapat mengakibatkan kerugian emosional, fisik, dan psikologis. Meski begitu, tidak semua orang akan merespon peristiwa traumatis dengan cara yang sama. Satu peristiwa bisa tampak biasa saja bagi kita, tetapi tidak bagi orang lain.

Jadi, sudah jelas bahwa trauma bukanlah buah dari ketidaksyukuran. Apabila ada Ibu yang mendapatkan kalimat tidak menyenangkan ini, hear me, I’m sorry this thing happened to you. Yuk, kita berdiri dan menerima respon tubuh kita. Percaya, kita bisa melaluinya.

Me on My Lowest Point:
Mendapat Tekanan dari Berbagai Sisi

Saya ibu muda yang termasuk generasi milenial. Saya menikah muda pada usia 23. Menikah muda ini merupakan win win solution antara saya dan orang tua. Beliau lebih suka anak tunggalnya menikah terlebih dahulu ketimbang mengambil peluang beasiswa ke Jerman yang sudah separuh jalan saya perjuangkan. Kendati demikian, saya tetap bersyukur dan menghargai perjalanan pernikahan kami.

Saya masih beradaptasi menjadi ibu baru dan kebetulan anak pertama saya mengalami sembelit kronis berbulan-bulan. Saya juga baru menyelesaikan tesis serta wisuda S2 yang tertunda. Tetapi, Ayah saya sudah gupuh menanyakan kapan saya akan sekolah lagi dan segera meminta saya untuk mendaftar CPNS. Saya menolak permintaan Ayah dengan alasan tidak ada yang merawat dan mendidik anak. Jujur saja saat itu saya merasa burnout.

Saya tidak ingin anak saya full dipegang rewang. Saya kurang nyaman menjalani hubungan long distance ketika masih bersama orang tua. Tentu saya tidak ingin anak-anak saya mengalami hal serupa. Perbedaan pandangan dan komunikasi ini membuat hubungan saya dan orang tua sempat memburuk. Saya sering merasa tertekan karena permintaan orang tua, sementara beliau menganggap itu hanyalah pengharapan atas orang tua ke anak.

Merasa tidak cukup baik sebagai anak itu tidak enak. Saya jadi merasa worthless. Keinginan untuk pergi pun berulang kali muncul dalam pikiran. Sebab, saya merasa diri saya tidak cukup untuk membuat orang tua bangga dan bahagia meskipun saya selalu berupaya menuruti keinginan dan harapan orang tua sejak kecil.

Bagaimana dengan mertua? Biasanya, kan, konflik dengan mertua itu bumbu yang nyaris selalu ada dalam drama rumah tangga. Dalam hidup saya, drama dengan mertua juga tidak ketinggalan. Ada beberapa masalah yang memberi trauma baru pada diri saya. Mulai dari masalah keuangan sampai masalah preferensi yang berbeda antara saya dan mertua. 

Syukurlah lambat laun saya bisa memperbaiki hubungan dengan orang tua dan mertua. Komunikasi serta tetap menunjukkan rasa cinta dan hormat adalah jalan terbaik yang bisa saya upayakan. Saya cukup lega dengan pencapaian ini, sebab, saya tidak ingin menganggap keluarga terdekat saya termasuk keluarga toxic. Saya juga tidak ingin kelak anak saya menganggap orang tuanya seperti itu. Saya percaya bahwa dalam keluarga, kita semua memiliki cinta, hanya saja dengan cara yang berbeda.

Tentu kejadian-kejadian yang saya alami bukan hanya yang saya sebutkan di atas. Banyak hal lain yang terjadi secara berurutan pada garis waktu yang hampir bersamaan. Pada saat itulah saya merasa berada pada titik yang paling bawah dalam hidup.

Hati Seorang Ibu Adalah
Kunci Kebahagiaan Keluarga

Semasa kuliah, saya hanya sering mendengar ungkapan bahwa ibu adalah pusat keluarga. Ketika saya menjalani peran sebagai ibu, saya sadar kalimat itu begitu nyata. Tiga tahun pernikahan kami adalah waktu yang terberat. Saya sering menangis, kurang bisa fokus pada kegiatan bersama anak, sering bertengkar dengan suami. Rasanya rumah yang kami tempati kala itu sudah tertular kabut pekat yang sering menyelimuti saya.

Saya tidak mungkin membiarkan keluarga saya tidak happy. Saya pun mencari cara. Mulai dari menggali ilmu, bekerja paruh waktu, hingga upaya spiritual pun saya lakoni agar saya bisa kembali merasa “cerah” dan bahagia. 

Sebagian orang berpendapat bahwa bahagia adalah pilihan. Namun, pada orang yang sedang mengalami trauma, sulit sekali menjangkau pilihan itu secara konsisten. Maka solusinya adalah ibu harus merasa cukup sebelum mencukupi kebutuhan keluarga sesuai perannya. Ibu harus pulih terlebih dahulu sebelum membuat suasana di keluarga menjadi lebih bahagia.

mengatasi trauma masa kecil, pentingnya ibu yang bahagia, alasan ibu harus bahagia, trauma setelah berkeluarga, trauma pada ibu setelah berumahtangga
Ibu yang bahagia membawa banyak manfaat untuk keluarga (Dok: pribadi).

Pentingnya kebahagiaan ibu sebetulnya bukan sekadar kalimat manis. Ada datanya melalui sebuah riset yang dilakukan oleh Institute for Family Studies. Mereka menggunakan data dari Millennium Cohort Study untuk melihat hingga 13.000 keluarga yang memiliki anak pada tahun 2000 atau 2001. Ibu dan Ayah mendapat pertanyaan “Seberapa bahagia Anda dalam hubungan Anda” ketika anak mereka berusia 9 bulan. Keluarga-keluarga ini telah disurvei beberapa kali sejak saat itu dan mereka melihat secara khusus bagaimana keluarga berubah ketika anak-anak berusia 14 tahun.

Hasil dari riset tersebut adalah kedua orang tua memiliki peran besar pada keluarga. Tetapi, kebahagiaan ibu merupakan faktor yang terpenting. Jika ibu bahagia, ibu lebih mungkin untuk tetap bersama ayah selama 14 tahun, dibandingkan dengan keluarga di mana ayah yang lebih bahagia. Ibu yang bahagia lebih berperan untuk mendidik anak remaja dengan tingkat masalah kesehatan mental yang lebih sedikit. Kebahagiaan ibu juga lebih berdampak pada kedekatan dengan anak-anaknya yang masih remaja.

Dari fakta ini, saya rasa kita semua sepakat bahwa emosi itu menular. Apalagi, anak-anak sangat hebat dalam meniru kita. Ketika kita membangun kebiasaan bahagia ke dalam hidup kita sendiri, mereka pun belajar bagaimana membangunnya ke dalam kehidupan mereka.

PULIH,
Langkah Pertama Menuju Ibu yang Bahagia

Ketika memori traumatis muncul, saya memang kesal, kecewa, marah, dan merasa terpuruk. Saya tahu semua yang saya rasakan begitu nyata, tetapi saya pun sadar bahwa emosi ini tidak sehat jika terlalu lama berada dalam tubuh. Saya tidak bisa membiarkan diri saya terus dikendalikan oleh emosi. Pulih adalah satu-satunya pilihan sehat yang dapat saya ambil. 

Menerima dan bangkit dari trauma masa kecil adalah proses yang bertahap dan berkelanjutan. Penyembuhan tidak akan terjadi dalam semalam, begitu pula ingatan tentang trauma masa kecil. Hal ini terkadang membuat hidup terasa sulit. Tetapi, Ibu harus tahu bahwa ada banyak langkah yang dapat kita ambil untuk mengurangi kecemasan dan ketakutan. Saya melakukan beberapa langkah yang saya singkat menjadi PULIH, yakni Pertolongan profesional, Usir pikiran buruk dengan aktivitas, Latihan mindfulness, Ibadah, dan Hope atau Harapan.

P = Pertolongan Profesional

Pertolongan profesional ini adalah mengambil sesi konsultasi dengan psikolog, psikiater, maupun dokter. Jika kita tidak memiliki latar belakang medis dan psikologi, sebaiknya kita tidak melakukan self diagnosis karena akan membuat kita mengambil keputusan dan pengobatan yang kurang tepat.

Misalnya, kita merasa mood swing, lalu kita melabeli diri kita sedang menderita depresi. Saya rasa tidak secepat itu dan yang bisa lebih memberikan diagnosis yang tepat adalah psikolog atau psikiater melalui serangkaian dialog dan tes. Kalau kita minim budget, sebetulnya sekarang konsultasi dengan psikolog dan psikiater bisa kita lakukan di puskesmas dan memakai BPJS. 

Apabila Ibu ragu untuk melangkah, mintalah bantuan pada orang terdekat. Bisa pada suami, orang tua, atau sahabat untuk memesankan sesi bersama psikolog maupun psikiater yang sekiranya bisa membantu mengatasi permasalahan.

U = Usir Pikiran Buruk dengan Aktivitas

Salah satu tantangan ibu yang mengalami trauma adalah mudah lelah. Rasanya, kewajiban untuk mengurus rumah tangga, keluarga, dan anak-anak tidak ada habisnya. Saran saya, cobalah minta bantuan suami dan berbagi peran aktivitas rumah tangga. Ini agar Ibu memiliki waktu untuk diri sendiri dan ada variasi aktivitas yang menyegarkan. Kemudian, buatlah jadwal yang kita pantau selama dua pekan hingga satu bulan.

Jadwal yang saya sarankan adalah sebagai berikut. Pertama, sediakan waktu pada pagi hari untuk diri sendiri. Bisa untuk beribadah, minum teh, makan buah sambil menikmati matahari pagi, dengerin lagu, baca buku, dll.

Kedua, cobalah berolahraga. Ibu bisa jogging santai atau home workout di rumah. Olahraga bermanfaat lebih dari sekadar melepaskan endorfin dan meningkatkan suasana hati kita. Olahraga dapat membantu sistem saraf menjadi lebih lancar dan mulai keluar dari kabut stres. 

Ketiga, buat aktivitas dan karya yang Ibu sukai. Misalnya, bermain bersama anak lalu meng-upload ke media sosial, memasak, baking, menulis blog, journaling, berkebun, dan banyak hal lainnya.

L = Latihan Mindfulness

Mindfulness atau bersikap sadar dapat membantu kita untuk kembali terkoneksi dengan masa yang kita jalani saat ini. Mindfulness merupakan salah satu cara untuk membantu mengurangi kendali pikiran dan ingatan yang tidak menyenangkan pada diri kita.

Ibu bisa mengikuti latihan mindfulness bersama pelatih khusus. Saya berusaha menerapkan mindfulness ini dengan mengatur pernafasan, mempelajari kondisi, serta mencatat apa yang terjadi ketika memori traumatis itu muncul. Pencatatan ini sangat berguna untuk melihat pola peristiwa. Jika saya tahu polanya, saya jadi lebih bisa mencegahnya dan mengendus “aroma” peristiwa maupun hal-hal pemicu trauma lainnya. Saya juga bisa meminta tolong pada orang terdekat untuk membantu saya apabila saya sudah mulai susah mengendalikan diri.

Saya juga mulai menyeleksi circle terdekat. Selain itu, saya juga mengkurasi akun yang saya follow di media sosial. Salah satu akun yang sudah saya ikuti sejak lama adalah Ibupedia. Ibupedia ini akun media sosial khusus untuk ibu yang kontennya tidak menggurui, bahkan cenderung berempati dan menyatakan bahwa segala perasaan yang kita alami selama menjadi ibu adalah valid. Selain banyak informasi, Ibupedia kerap memberi gambaran yang akurat tentang kehidupan kita sebagai ibu. Ibupedia juga mendorong kita untuk menerima segala emosi dan belajar untuk mengelolanya. Ibu bisa ikut memfollow Ibupedia dengan mengeklik tombol berikut.

Postingan di Instagram @Ibupedia_id yang saya sukai akhir-akhir ini.

I = Ibadah

Ada sebuah quotes dari Pierre Teilhard de Chardin yang saya suka, yakni “We are not human beings having a spiritual experience; we are spiritual beings having a human experience”. Kutipan ini menegaskan bahwa trauma masa kecil yang kita alami adalah hal yang wajar dan mungkin terjadi pada manusia. Dan trauma membuat kita kerap susah mengatur nafas dan kehilangan kendali pada pikiran, seolah terpisah dari diri kita sendiri. Salah satu cara yang dapat kita tempuh adalah kembali terkoneksi dengan sesuatu yang lebih dekat dengan nafas kita.

Ada berbagai cara untuk kembali terkoneksi secara spiritual dengan diri kita, yang paling mudah adalah dengan ibadah. Saya percaya bahwa Pencipta saya adalah satu-satunya yang paling memahami dan tidak akan melukai. Ketika mengalami dampak dari kejadian traumatis, saya sempat mengasingkan diri dan mengikuti kegiatan pesantren kilat. Di sana, saya mendapat bekal yang sangat berharga dan membawa pengaruh baik pada kehidupan saya hingga sekarang.

H = Hope / Harapan

Selalu ada harapan untuk menjalani hari-hari yang lebih tenang dan bahagia. Mungkin ada satu hal yang perlu Ibu ketahui bahwa ada kalanya selama masa perawatan, ada ingatan menyakitkan yang muncul yang akan mengganggu selama beberapa hari. Ada kalanya kita merasa tidak ada kemajuan. 

Jika sedang merasa seperti itu, sebaiknya kita tetap bersikap baik pada diri. Ketika kita kembali merasa jatuh, powerless, hopeless, ingatlah bahwa ini bukanlah kita yang sebenarnya. Itu semua adalah perasaan yang kerap muncul ketika kita mengalami trauma. Fokuslah pada aktivitas dan kebiasaan baik yang ingin Ibu bangun. Ingat tujuan mengapa Ibu ingin pulih.

Saya pun masih mengalami susah tidur malam, gemetar, ketakutan, dan menangis. Setiap kali perasaan kacau datang, saya berbicara pada diri saya bahwa tangis ini adalah air untuk menyirami doa-doa. Saya mengumpulkan keyakinan bahwa setelah ini semua akan baik-baik saja.

Penutup

Kang Irfan Amali, cofounder Peacegen ID, pernah berkata bahwa musibah itu adalah sesuatu yang tepat sasaran. Apabila itu terjadi pada kita, berarti musibah (yang juga dapat kita maknai sebagai ketakutan dan rasa tidak nyaman) memang untuk kita. Pandangan ini sangat saya sukai dan memudahkan saya untuk menerima bahwa ini memang untuk saya.

Nasihat ini saya jadikan pupuk untuk keyakinan saya. Bahwa ada sesuatu yang baik telah menanti, entah di mana. Bahwa selalu ada harapan, jika saya mau mengupayakan.

Apakah ada Ibu yang memiliki pengalaman serupa dengan saya? Jika Ibu merasa nyaman untuk berbagi, boleh tinggalkan beberapa kata di kolom komentar. Semoga selalu sehat dan bahagia yaa, Bu!

Referensi:

APA

https://www.apa.org/topics/trauma

Institute for Family Studies

https://ifstudies.org/blog/moms-happiness-and-family-well-being

Northwestern University News

https://news.northwestern.edu/stories/2015/08/traumatic-memories-hide-retrieve-them

Trauma Recovery

https://trauma-recovery.ca/recovery/taking-care-of-your-spiritual-self/

Tirto

https://tirto.id/trauma-melahirkan-faktor-penyebab-dan-cara-mengatasinya-eo4T

Very Well Mind

https://www.verywellmind.com/common-symptoms-after-a-traumatic-event-2797496

https://www.verywellmind.com/using-mindfulness-for-ptsd-2797588

Grafis:

Freepik (Artist: Freepik, Rawpixel, Pikisuperstar, Mokoland, Asrulaqroni)

67 tanggapan pada “PULIH: Upaya Ibu Menghadapi Trauma dan Membangun Keluarga yang Bahagia”

  1. trauma masa kecil ini emang slulit dihilangkan yaaa, wajib telaten niih , dulu sempet punya trauma juga kalo masukin kaki ke yang nggak jernih atau yang bawahnya gelap gitu karna pernah kena pecahan kaca di sungai kecil, jadi kalo mau masukin kaki ke air wajib banget yang bawahnya putih biar airnya keliatan jernih hihihi,

  2. Oh, aku selalu berpikir bahwa orang-orang dengan trauma ini akan membawa traumanya hingga ke pengasuhan dan akan kambuj ketika tersulut dengan trigger tertentu.
    Ternyata sangat bisa yaa.. disembuhkan melalui PULIH.
    Asalkan kita konsisten melakukan dan ingat sadar penuh hadir utuh untuk berupaya agar senantiasa ingin melakukan perubahan demi orang-orang yang mencurahkan kasih sayangnya pada diri kita.

    1. iyaah mbaa.. sangat mungkin membawanya ke pengasuhan dan mudah tersulut kalau bertemu dengan sesuatu yang terasosiasi dengan rasa trauma.

      bisa pulih, tapi pasti butuh waktu 🙂

      1. Aah…ini setuju banget, kak Nabilla.
        Pulih memang tidak instan tapi semoga seiring dengan bertumbuhnya anak-anak dan usaha healing juga berdoa, ini bisa menjadi lebih baik.
        Ibupedia seger banget yaa…tampilannya.

  3. Mantapp 😎
    Ini keren sekali,
    Pada dasarnya orang orang memiliki trauma,
    Trauma kecil atau besar dan sangat mengganggu

    Tidak apa berdamai dengan diri dan semoga semua teratasi 💋

  4. Masyaallah. Luar biasa perjalananmu sebagai penyintas. Sangat menginspirasi. Kupikir bahkan sepertinya tidak ada orang yang benar2 selalu merasa baik2 saja. Setiap orang pasti menyimpan traumanya masing2. Dengan membaca ini, kita jadi makin tahu apa yang harus dilakukan. Terima kasih.

  5. Nggak nyangka hidup Mbak Nabila pernah mengalami trauma masa kecil. Padahal kalau saya lihat hidupnya sempurna sekali. Bagus juga ya langkah langkah yang diambil mbak yaitu dengan PULIH. Termasuk mencari psikiater atau profesional untuk pertolongan. Untungnya sudah berhasil melewati masa masa itu ya mbak.

    1. Berat banget kalau pasangan kita sndiri kurang peka sm trauma yg kita rasakan. Suami suka bilang smua udh terjadi ambil hikmahnya… Padahal berat sekali ada di posisi punya trauma itu …

  6. Setiap orang pasti memiliki inner child dan berbeda pula penanganan buat masing-masing personal. Bagaimana cara kita berdamai dan bisa PULIH adalah perjuangan dan semua memiliki cerita masing-masing. Semoga lingkaran setan inner child tidak membuat trauma yang bisa membekaskan juga ke anak-anak kita kelak. Setiap ibu bisa sembuh, setiap ibu berhak bahagia. Kunci ibu yang bahagia akan melahirkan keluarga yang bahagia.

  7. Mbaaaaa *virtual puk puk*
    All is well ya Mbaa
    Alhamdulillah, Mba setrong bgt bisa melalui semua tantangan dgn baik!
    Semogaaaa artikel ini bs menginspirasi jutaan Ibu yg mengalami hal serupa.
    Semangaatt, kuaattt!

  8. Alhamdulillah, mba Nab. Sudah bisa melaluinya dengan baik. Semangatt mba.
    Btw sukaa banget sama metode P.U.L.I.H nya. Noted. Terimakasih sharingnya

  9. Jalan untuk mengurangi rasa trauma memang sangat panjang. Beruntung banget bisa ikutan sesi dengan psikiater. Karena memang orang yang trauma membutuhkan penanganan yang tepat untuk memperbaiki sisi psikologisnya.

    Pada dasarnya memang kita kudu siap untuk menerima segala kenyataan yang hadir di kehidupan ini ya Mba. Nice post. Terima kasih atas artikel inspirasinya.

  10. Mantap dan lengkap sekali tulisannya mba. bagaimanapun upaya untuk bangkit setelah mengalami trauma ini bukan sesuatu yang mudah. Apresiasi bagi orang yang bisa selalu bangkit setelah trauma yang dialami

  11. suka banget dengan artikelnya, ini pastinya akan memberikan motivasi dan semangat bagi siapa saja yang sedang terpuruk ya. membaca ini juga mengingat masa kecil saya, mungkin ada juga trauma yang sampai hari ini belum sembuh, tapi tidak begitu berat namun kadang sangat membantu, ok this too shall pass, kata-kata ini full power banget rasanya

  12. Ungkapan bahwa ibu adalah centre dalam keluarga bukanlah isapan jempol. Kalau ibu kurang ceria aja, maka semua keceriaan keluarga ikutan tersedot.

    Oleh karena itu, maka kesehatan ibu baik fisik dan mental itu penting sekali. Nggak perlu merasa rendah diri hanya karena kita berkonsultasi pada psikolog.

  13. Kalau saya sampai saat ini merasa sedih juga belum bisa memenuhi keinginan orang tua untuk bekerja termasuk ibu yang dulu sebelum menikah selalu berpesan harus tetap berkarir. ternyata nggak semudah itu setelah menikah. Alasannya sama dengan Mbak Nabilla yaitu nggak ada yang jaga anak2. Dan belum berani nyerahin anak ke ART. Dan tanpa sadar memberi beban sendiri ke aku. Satu2nya jalan aku cuma berusaha tetap menulis dan berdoa meminta petunjuk.

  14. PULIH, menjadi sebuah singkatan yang apik yang sudah mb nabila uraikan, Hi mb salam kenal. semoga mb baik-baik saja yah. saya juga mengalami hal yang tidak mengenakan dalam hidup itu seperti benang kusut yang menjerat dan membuat saya tidak berani melangkah. namun satu langkah sebelum memulai Pulih adalah keberanian untuk mengurai kekusutan benangnya dan membiarkannya. menerima kenyataan dan memaafkan cerita kelam yang telah terjadi. lalu melangkah untuk PULIH.
    .
    Terimakasih atas tulisannya yang membangun mb. Pasti akan banyak orang yang terbantu dengan tulisan PULIH mb Nabilla. salam mb

  15. Sapti nurul hidayati

    Menjadi perempuan memang kompleks dan penuh tantangan ya mbak… Bersyukur bisa, melalui semua. Paling tidak progres baik sudah sangat kelihatan. Untuk membuka diri agar dapat keluar dari trauma itu sendiri butuh keberanian. Selamat, mbak punya keberanian itu.. Perempuan memang harus bahagia. Agar sekitarnya ikut ceria.

  16. Wah infonya berharga sekali. Memang sebelum mendidik anak, ibunya harus pulih dulu, harus stabil dulu. Karena apa yg akan kita berikan ke anak akan membekas seumur hidup. Semoga banyan ibu yg membaca artikel ini ya.

  17. Peran suami sangat diperlukan karena menjadi ibu adalah pengalaman pertama kalinya. Kasian memang wanita yang tumbuh di budaya patriarki, banyak sekali tuntutannya. Semoga selalu diberi kekuatan dalam memulihkan diri kita dengan healing dan lebih sayang sama diri sendiri <3

  18. Masya Allah ini ilmu yang berdaging buat saya yang belum ganti status KTP. Pengalaman Kak Nabilla jadi bekal untuk saya ketika esok memasuki jenjang sebagai istri kemudian menjadi ibu. Sharingnya bermanfaat, makasih kak.

  19. Ahh aku selalu suka baca tulisanmu mbak
    sangat menginspirasi
    memang kunci kebahagian keluarga adalah ibu yang bahagia ya
    Happy mom raise happy kids

  20. rasanya pengen bilang apa gitu ya kalau bilang trauma ga bersyukur, mereka tidak tahu bagaimana perjuangan kita melawan perasaan yang kurang menyenangkan dalam hati kita ini, apalagi itu bawaan masa kecil. terima kasih sharingnya

  21. Detil dan rinci tulisannya MB, seneng akutu. Trauma masa kecil.memang sulit ya disbuhkan. Tapi denga PULIH asal kita niat untyk sembuh bisa ya mba. Syukur Alhamdulillah ya mba Nabilabisa mengatasit trauma itu. Semoga harinya bertambah bahagia bersama kluarga ya…

  22. Wiwin | Pratiwanggini.Net

    Trauma masa kecil sebaiknya memang dipulihkan. Karena kalo tidak, bisa terjadi pengulangan yang ditimpakan kepada anak-anak yang tak tahu apa-apa. Sebisa mungkin trauna cukup berhenti pada kita, jangan sampai turun temurun.

  23. Saya pernah juga mengalami begini, Mbak. Padahal nikah udah usia 26 tapi namanya masalah itu memang gak pandang usia. Healing saya itu salah satunya dengan menulis dan mulai mengembangkan diri meskipun tetap di rumah saja. Ibarat kata seperti butuh menyalurkan energi negatif melalui kegiatan yg positif dan memiliki eksistensi di suatu bidang. Emang jadi ibu itu PRnya seumur hidup.

  24. Memang tipe2 manusia tuh berbeda ya ada yang mudah sekali trauma, ada yang ‘bebal’ . Harus pandai2 memahami sifat orang terutama keluarga di sekitar kita. Menguatkan mental mereka agar tidak mudah traumatik itu perlu… karena kalau sudah trauma susah juga menghadapinya…untung ada semacam PULIH ini ya…

  25. Katanya anak -anak itu bisa mudah melupakan. Kalau menurutku enggak juga sih, karena ada sebagian yang bener-bener akan diingat sampai tua. Entah pengalaman baik, buruk atau seru.

    Tapi terima kasih atas sharingnya, kak. Semoga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

  26. Enggak sedikit orang tua yang menginginkan anak2nya untuk mengikuti hampir semua kata orang tua ya, mbak. dan benar, dalihnya adalah pengharapan atas orang tua ke anak. Salut dengan kekuatan Ibuk muda ini. Semoga mamak2 di dunia ini terus bahagia.

  27. kejadian di masa kecil itu sering kali buat orang menjadi trauma ya Mbak, perlu keberanian dan niat yang kuat agar bisa keluar dari trauma dan rasa sakit itu ya, harapan yang kita pupuk itu juga harus jadi cambuk agar bisa pulih ya.

  28. memang sering banget ya, mbak dibahas kalau trauma masa kecil itu bisa mempengaruhi kita saat menjadi orang tua nanti. apalagi memang masa awal menjadi ibu itu termasuk masa yang berat yaa

  29. Kayanya sih setiap orang punya traumanya tersendiri. Tinggal kita maunya maju atau tetap diam di tempat. Yang pertama memang harus ada dukungan dari orang terdekat. Lalu ke ahli jika memang perlu. Tak apa untuk sekali-kali tidak bahagia

  30. Duh sejatinya, aku yakin bahwa kakak memang wanita yang kuat! Tapi bener sih, jangan ragu untuk minta pertolongan ke profesional ya kak. Beberapa kalimat di sini berhasil menyentuhku kak. Thank you.

  31. Banyak orang mengira bahwa trauma hanya dialami orang dewasa. Padahal trauma sudah terjadi sejak usia kecil. Dia itu seperti tabungan, kalau jarang ditarik akan menumpuk jadi saldo. Dan, terbawa seiring waktu menjadi toxic dalam hidup. Insights ini seru juga. Saya mulai coba nih..

  32. Menjadi Ibu Bahagia ini bukan hanya sekedar pemenuhan perhatian dari support system yaa..
    Tapi juga aktualisasi diri sebagai Ibu yang berdaya dan produktif untuk keluarga.

  33. Alhamdulillah mbak, udah bisa melewatinya makanya bisa bertahan sampai sekarang yaa. Aku pun juga sama punya trauma masa kecil dengan orang tua yang terlalu menuntut karena aku anak perempuan pertama. Tapi sekarang aku udah selow karena sambil belajar tentang filosofi stoikisme / stoicsm, alasannya biar bisa cuekin segala tekanan dari mana-mana dan fokus buat mengendalikan apa yang bisa aku kendalikan. Termasuk sering-sering ajak ngobrol diri sendiri,

  34. trauma memang harus dipulihkan
    saya juga punya trauma masa kecil
    sekarang masih ada sisa sisa
    kadang hati seperti batu jika menyebut dan mengingat orang yg menyebabkan trauma
    tapi akhirnya berdamai dengan diri sendiri
    ikhlas
    Tuhan punya cara sendiri untuk membalas kepda yg memberi trauma

  35. Banyak ilmu dari blogpost ini mbak, terima kasih ya. Mesti pandai-pandai jaga emosi saat trauma tiba-tiba muncul, belum lagi ya masalah di sekitar yang sedang dihadapi. Biasanya malam hari saat mau tidur tapi belum bisa, pikiran suka travelling ke mana-mana & ingat kembali ke masa lalu.

  36. Ternyata mengahdapi trauma ini tidaklah mudah yaa..
    Kemarin aku diceritakan salah seorang teman yang ternyata ia membutuhkan waktu untuk bisa kembali ke dunia sosial media karena mendadak hidupnya terusik dari sebuah komentar.
    Aku jadi berpikir bahwa trauma itu sungguh ada dalam diri masing-masing manusia dan akan ke-trigger keluar kalau mengenai titik paling sensitifnya.

    Jadi kudu bener-bener di maintenance untuk kesehatan mental, tidak hanya fisik.

  37. bagus banget mba sesi sharing pengalaman ini bener-bener gak mudah utk di sharing bener aku juga mulai latihan mindfulness gegara ntn serial netflix ttg meditasi mulai lumayan ngbantu buat redain sisi trauma aku dan memori2 buruk 🙁

  38. musibah itu adalah sesuatu yang tepat sasaran, well said deh ini mba, jadi membuka pikiran lagi dengan cara pandang yang berbeda, karena kerap kali kita manusia menganggap musibah hanya sebagai sesuatu hal yang buruk yang terjadi pada diri kita sendiri, seperti trauma masa kecil yang kita miliki sebagai ibu semoga kita diberikan kekuatan untuk legowo menerima dan segera bangkit dan bisa pulih dengan baik

  39. Saya percaya bahwa Pencipta saya adalah satu satunya yg paling memahami dan tidak akan melukai. Ya Allah rasanya memang sungguh melelahkan dan membahagiakan menjadi seorang ibu, saat kita berusaha menahan segala hal buruk yg pernah kita alami dimasa lalu kita, berusaha sekuat tenaga untuk tidak melukai anak2. Saat khilaf ke anak2 memaafkan diri sendiri begitu sulit.

  40. Pingback: Tips Parenting Era Digital ala Bunda Milenial

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *