“Kak Siti, terima kasih, ya. Sekarang saya sudah lulus. Mungkin kalau saya tidak bertemu sama Kak Siti di Lapak Pemulung, saya tidak akan pernah bisa sekolah.”
Siti Salamah tak kuasa menahan rasa haru mendengar ucapan seorang anak pemulung yang dekat dengannya. Siti kerap dijuluki “Emak Pemulung” oleh anak-anak di Lapak Pemulung Jurangmangu Timur, Tangerang Selatan. Sebutan ini muncul atas konsistensi Siti dalam mendidik anak-anak pemulung yang putus sekolah selama enam tahun lamanya. Selain itu, Siti juga memberdayakan pemulung sebagai mitra kerja untuk aplikasi Waste Solution Hub (WasteHub) yang ia gagas bersama kedua rekannya.
Kini, sebagian besar dari anak pemulung telah mengenal apa itu impian dan masa depan. Mereka punya harapan baru dan cita-cita yang sudah menunggu untuk diwujudkan.
Siti memulai aktivitas di Lapak Pemulung sejak tahun 2015. Kala itu ia masih berusia 27 tahun dan belum menikah. Kendati demikian, naluri keibuan sudah tumbuh dalam relung hatinya. Bukan naluri ibu yang memanjakan, melainkan sebuah teladan dari seorang ibu yang tahu kapan bersikap tegas dan paham kebutuhan utama anak-anaknya. Siti percaya bahwa anak-anak pemulung memiliki masa depan serta memiliki potensi yang perlu terus dikembangkan. Hanya saja, akses mereka sangat terbatas. Belum lagi pandangan masyarakat tentang pemulung yang kerap dianggap “rendahan”.
Naik turun kehidupan di lapak pemulung telah Siti alami. Ia juga pernah merasa trauma dan tak ingin kembali. Tetapi suara hatinya melantunkan nada yang merdu, menuntun persistensi seorang Siti Salamah untuk teguh membantu hidup para pemulung.
Kini, Siti berhasil membawa para pemulung di Jurangmangu Timur ke level yang lebih tinggi. Tidak hanya anak-anak pemulung yang bersuka cita, warga di sana pun kini mampu tersenyum lebih lebar. Mereka semakin berdaya karena berkat Siti Salamah, para pemulung ini menjadi kawan kerja untuk aplikasi Waste Solution Hub dan mendapat bayaran secara profesional.
Dari Mengaji Hingga Kolaborasi
Tanggal 31 Maret 2015 adalah waktu yang sangat dikenang oleh Siti Salamah. Pada penghujung bulan Maret itulah ia pertama kali datang ke Lapak Pemulung di Jurangmangu Timur. Panggilan hati menggerakkan Siti untuk membuat kegiatan di Lapak Pemulung. Selain itu, ia juga ingin agar sisa jam kerjanya bisa lebih bermanfaat.
Ia dan teman-temannya memulai kegiatan dengan nama “Maghrib Mengaji”. Sesuai namanya, kegiatan ini hanya berkutat pada kegiatan mengaji seusai sholat maghrib. Kemudian seiring berjalannya waktu, Siti melihat ada kebutuhan lain berupa materi pelajaran sekolah untuk anak-anak.
Segera Siti menginisiasi kegiatan belajar mengajar di Lapak Pemulung. Muridnya pun cukup banyak dan variatif, mulai dari yang berusia 3 tahun hingga jenjang SMA.
Kegiatan ini mengalir dan menemukan jalannya sendiri. Suatu hari, ada pengurus Home Schooling Kak Seto yang datang dan memberi tawaran program kejar paket. Siti pun menyambutnya dengan tangan terbuka. Akhirnya anak-anak bisa bersekolah, begitu gumamnya.
Aktivitas di Lapak Pemulung Jurangmangu Timur rupanya didengar pula oleh Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) lainnya. Kesempatan bagi anak-anak pemulung untuk terus bersekolah pun kian besar.
Sebagaimana anak-anak pada umumnya, anak pemulung juga memiliki banyak potensi. Hanya saja, mereka kurang memiliki akses untuk memaksimalkan potensi tersebut. Siti mengatasi hal ini dengan membuat beasiswa minat bakat di Lapak Pemulung. Dia berhasil menggandeng Garuda Muda Soccer Academy agar anak-anak di Lapak Pemulung bisa les sepak bola sebagaimana anak lainnya.
Kegiatan di Lapak Pemulung Jurangmangu Timur tidak terbatas pada topik edukasional saja. Siti dan teman relawan lain juga aktif menyelenggarakan sejumlah acara pada hari-hari tertentu. Misalnya saja upacara bendera. Warga menyambut aktivitas ini dengan sangat antusias.
Trauma, Ditolak Pemulung, dan Ditentang Keluarga
Perjalanan Siti Salamah juga menemui kerikil yang tajam. Ia mengakui, mengurus anak-anak pemulung bukan perkara mudah. Siti harus mampu mengelola ekspektasi dan mengatur emosi ketika mendapat ucapan-ucapan yang menyakitkan hati.
Ia pernah trauma karena tersinggung dengan ucapan warga di Lapak Pemulung. Akibatnya, perempuan kelahiran Lampung ini tidak mau mendengar kata “lapak pemulung” dan tidak ingin kembali mengajar di sana. Akan tetapi, kebetulan ada mahasiswa yang akan melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan meminta bantuan pada Siti. Ia pun bersedia karena tidak ada orang lain yang bisa membantu. Sesampainya di Lapak Pemulung, anak-anak menyambut kehadiran Siti dengan girang.
“Kak Siti, kangen banget, lho. Kenapa lama tidak ke sini?” Hati Siti pun kembali luluh dan memaafkan. Ia sadar mungkin sebelumnya ia hanya sekadar sensitif dan kelelahan.
Tantangan lain yang ia temui adalah penolakan dari orang tua anak-anak, yang juga merupakan para pemulung.
Suatu hari, seusai Siti membagikan formulir berisi informasi tentang program kejar paket, ada seorang ibu yang menghampirinya. Ia membawa formulir tersebut dan menyobek menjadi dua bagian tepat di hadapan Siti.
Entah apa yang merasuki pikiran si Ibu. Tidak sampai sepekan, ia kembali datang menemui Siti. Dengan nada agak membujuk, ia meminta lagi lembaran berisi informasi kejar paket. Barangkali ia tergerak karena melihat anak-anak pemulung lainnya juga ikut bersekolah. Melihat perilaku Sang Ibu, Siti hanya tertawa dan merasa tidak habis pikir. Tetapi, pada akhirnya, Siti bisa bersahabat dengan tabiat para pemulung.
Sementara hambatan dari internal keluarga Siti juga ikut muncul. Siti pernah dilarang untuk mengajar di Lapak Pemulung karena bagi keluarganya ia hanya membuang-buang waktu. Selain itu Siti juga pernah sakit karena kelelahan dengan aktivitas di Lapak Pemulung. Ia menanggapi dengan santai sekaligus agak keras kepala. Sebab, siapa lagi yang akan terjun dan membantu anak-anak di Lapak Pemulung kalau bukan dirinya?
Pemulung yang Dekat Bagai Keluarga
Siti menghabiskan banyak waktu dengan anak-anak pemulung. Bukan hanya waktu formal ketika berkegiatan, Siti dan teman relawan lainnya sering menginap di mushola bersama anak-anak pemulung. Mereka juga kerap meluangkan waktu untuk makan bersama warga di Lapak Pemulung.
Kedekatan itu memberi kesan mendalam bagi Siti Salamah, terutama ketika ia baru kehilangan salah satu bayi kembarnya.
Saat itu ia masih belum kuat untuk membantu suaminya mengurus pemakaman bayi. Ia pun menelepon salah satu koordinator di Lapak Pemulung. Tidak lama kemudian, mereka berduyun-duyun datang membantu suami Siti untuk memakamkan Sang Buah Hati. Hubungan Siti dan para pemulung pun terjalin sangat erat bagai keluarga.
Mendirikan Waste Solution Hub
Tahun 2017, Siti mendapat kesempatan untuk mengikuti sebuah program bertajuk United in Diversity. Pada kesempatan itulah ia merajut jaringan dengan 60 anak muda lainnya, salah satunya adalah Ranitya Nurlita (Lita). Siti merasa klop dengan Lita karena Lita fokus pada isu lingkungan dan sampah, sementara Siti aktif dalam memberdayakan pemulung. Mereka sempat bersepakat untuk berkolaborasi suatu saat nanti.
Ternyata kolaborasi yang mereka maksud tidak butuh waktu lama untuk mewujud. Tahun 2018, tepat setelah Lita pulang dari Amerika untuk sebuah program perturakan pemuda, Lita ingin membangun tempat pengolahan sampah yang bersih. Lita pun menggandeng Siti dan Yusuf untuk mendirikan sebuah start up dengan nama Waste Solution Hub atau disingkat WasteHub.
Solusi yang diberikan oleh WasteHub berupa sebuah bentuk bisnis sosial yang bertujuan untuk mengangkat dan membangun kawasan pengumpulan sampah lokal yang efektif dan bertanggung jawab melalui pendekatan ekonomi sirkular dan teknologi.
Fokus WasteHub untuk Lingkungan dan Pemulung
WasteHub lahir karena kegelisahan tiga anak muda atas persoalan sampah dan kesejahteraan pemulung. Mereka menemukan kajian bahwa Indonesia menghasilkan lebih dari 190.000 ton sampah setiap hari dengan jenis sampah mayoritas berupa sampah organik. Sampah plastik pun tak kalah membuncah, ia sanggup membentuk gunungan sekitar 25.000 ton per hari. Persoalan lain juga menerpa kaum yang dekat dengan pengelolaan sampah, yakni pemulung. Jumlah pemulung di Indonesia diperkirakan ada sebanyak 3,7 juta orang. Pendapatan mereka bervariasi antara Rp 500.000 hingga 1.000.000 per bulan. Angka ini tentu rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan nasional.
Saat ini, WasteHub meletakkan fokus pada empat jenis pelayanan berikut, yakni:
- Consulting : memberikan jasa konsultasi secara profesional untuk menyelesaikan masalah umum antara masyarakat, pemulung, lapak, dan unit usaha untuk meningkatkan area pengumpulan sampah dengan pendekatan win-win solution;
- Creating : membuat pengelolaan sampah yang lebih sistematis, terintegrasi dan berkelanjutan dengan pendekatan teknologi;
- Empowering : meningkatkan pendapatan bagi pemulung dengan memberikan peluang tambahan dan soft skill (pelatihan, kegiatan sukarela, kerajinan, dan peningkatan kapasitas);
- Solving : membangun sanitasi, lingkungan, dan fasilitas kesehatan yang layak.
Masih ada sejumlah program lain yang ditawarkan seperti Produk WasteHub, Daur Ulang Makanan dan Organik, serta Fasilitas Pengelolaan Sampah Terpadu yang akan segera hadir.
Prestasi WasteHub
Awalnya, Siti Salamah dan tim ingin merancang WasteHub dalam format aplikasi. Namun karena masih baru dan minim anggaran, mereka ikhtiar untuk membesarkan WasteHub dengan cara lain.
Siti dan kedua rekannya rajin mengikutsertakan WasteHub pada sejumlah perlombaan. Di akhir tahun 2018, WasteHub terpilih menjadi perwakilan dari Indonesia untuk sebuah ajang bergengsi di China. Mereka mempresentasikan konsep WasteHub dan sukses meraih perunggu.
Prestasi perunggu yang berhasil mereka peroleh di negeri tirai bambu semakin menguatkan tekad untuk membesarkan WasteHub. Siti selaku Chief Operating Officer di WasteHub memiliki niat agar WasteHub dapat menjadi penghubung bagi pengelolaan sampah yang baik dan pemberdayaan kaum marginal. Niat mulia ini menggerakkan Siti untuk aktif mengikuti kegiatan di beberapa lembaga demi membesarkan WasteHub dan mengangkat derajat para pemulung.
WasteHub yang Terus Bertumbuh Bersama Pemulung
Tumbuh perlahan tapi pasti. Hingga kini, WasteHub telah mengedukasi lebih dari 23.247 pengunjung, dipercaya untuk menangani lebih dari 10 projects, memiliki lebih dari 60 orang relawan, mengelola 2.437,17 kg sampah, memberdayakan lebih dari 1.222 pemulung, dan mendistribusikan 3.066 paket sembako untuk pemulung.
WasteHub memiliki target untuk melibatkan 10.000 mitra pemulung. Tidak hanya itu, WasteHub juga bercita-cita agar dapat meningkatkan pendapatan pemulung sebanyak 100 persen, mampu mengelola 1.000 ton sampah per hari, menghasilkan lebih dari 1.000 produk daur ulang, dan mengembangkan 10 area pusat daur ulang serta pembelajaran di seluruh Indonesia.
Siti merupakan orang yang berperan penting dalam mengorganisasikan para pemulung. Ia menjalin kerjasama dengan Ikatan Pemulung Indonesia. Tujuannya adalah mengakomodasi permintaan kolaborasi dan pelatihan. Selain itu, apabila WasteHub terlibat projects di luar Jakarta, WasteHub akan lebih mudah menjangkau pemulung lokal. Salah satu yang telah berjalan adalah pengolahan sampah di Nusa Tenggara Timur (NTT). WasteHub dipercaya oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan BPO Labuan Bajo Flores untuk mengelola sampah wisata di Labuan Bajo.
Siti pun mengungkap ia memiliki impian lain, yakni membuat sertifikasi bagi para pemulung. Ide ini muncul ketika ia mendapat curhatan dari para pemulung yang butuh pekerjaan sampingan. Rencananya, aksi ini akan dikelola oleh WasteHub dan Rumah Pohon, sebuah wadah sosial dari WasteHub.
Ingin Lebih Banyak Bekerja Sama
Pasca SIA
Tahun 2021 lalu, Siti memperoleh SATU Indonesia Awards 2021 atas kegigihannya untuk kemajuan WasteHub dan kepeduliannya yang besar untuk pemulung. Penghargaan ini menjadi kejutan tersendiri bagi Siti. Pasalnya, saat itu ia sedang mengalami musibah berturut-turut. Ketika pengumuman finalis, Siti sedang mengalami pendarahan atas kehamilan kembarnya. Ia pun harus menjalani interview dalam kondisi masih dirawat di rumah sakit.
Begitu Siti lolos ke tahap selanjutnya dan mengharuskan ia untuk syuting, Siti kembali menghadapi aral. Sebab saat itu ia melahirkan anak kembar sekaligus berduka karena salah satu anaknya meninggal dunia. Ketika penjurian berlangsung, ia masih menyusui bayi newborn sehingga harus membawa bayinya turut serta.
“Saya sebetulnya tidak berharap banyak untuk menang, Mbak. Soalnya saingannya keren-keren dan saya pun tidak dalam kondisi terbaik. Alhamdulillah ternyata memang sudah jalannya,” ujar Siti.
Siti tidak pernah merasa berkorban terlalu banyak. Memang ada waktu dan materi yang harus ia relakan, tetapi ia percaya semua ini Allah yang mengatur.
Siti berharap WasteHub bisa memberikan dampak yang lebih banyak untuk lingkungan dan pemulung. Setelah SIA 2021, Siti dan kedua rekannya di WasteHub berencana untuk melegalkan WasteHub menjadi badan usaha. Tujuannya agar semakin banyak kebaikan yang dapat dilakukan.
Kisah Siti dalam mengelola sampah sekaligus meningkatkan derajat para pemulung, mampu membuat Indonesia bangga. Sebab, kita tahu masa depan yang bersih dan sehat untuk generasi muda itu masih ada. Cerah, seperti sebuah senyuman yang merekah.
Referensi:
- Wawancara dengan Siti Salamah;
- E-book SIA 2021,
- Website WasteHub https://wastehub.id/,
- YouTube Waste Solution Hub Profile,
- YouTube SATU Indonesia,
- Akun Instagram @wastehub.id,
- Akun Instagram @shetysalamah,
- Akun Instagram @rumahpohon_tmm.
sangat menginpirasi sekali kisahnya