Saya sudah pernah mendengar kuliner khas Jogja ini disebut beberapa kali di media sosial. Viral, itulah jembatan yang membuatnya terkenal. Selama tinggal di Jogja, saya tidak pernah mendengarnya. Atau memang saya yang kurang main, ya?
Tapi, meskipun saya sudah mengenal Gudeg Pawon sejak dulu, mungkin saya dan suami tidak akan tertarik. Sebab, katanya warungnya baru buka jam 11 malam. Itu pun harus bersabar dengan antrian yang seperti semut berbaris. Saya sudah membayangkan suami yang mengomel dan mengkritisi sistem penyajian yang tidak praktis dan tidak cepat.
Namanya jodoh, akhirnya saya ketemu juga sama Gudeg Pawon yang ternama ini. Adalah Tika, teman saya yang menggagas untuk mencicipi Gudeg Pawon. Ajakan yang cukup kuat, menurutnya, tidak akan rugi kami mengantri.
Karena kali ini saya ke Jogja sendiri dan hanya bebarengan dengan teman-teman, tawaran Tika sulit untuk saya tolak.
Saya di Jogja hanya semalam. Dalam waktu semalam itu pula saya berjalan ke beberapa titik, hingga pada pukul 20.30, kami bertolak ke Gudeg Pawon dari Malioboro. Untunglah Gudeg Pawon agak jauh dari keramaian, kami berharap bisa makan dengan tenang.
Prasmanan ala Gudeg Pawon
Gudeg Pawon buka pukul 21.30. Meski begitu, sudah banyak orang yang mengantri sejak satu jam sebelum buka. Sampai sana, rupanya sudah ada 4 keluarga yang menunggu. Selang 5 menit dari kedatangan kami, muncul lagi satu persatu rombongan yang berasal dari luar kota. Dari obrolannya, ada yang baru ke sini pertama kali, seperti saya, ada pula yang sudah dua kali. Jangan bayangkan warung, apalagi restoran. Gudeg Pawon sebetulnya “hanyalah” gudeg rumahan. Pemilik bisnis seolah menjadikan kami sebagai bagian dari anggota keluarga di rumahnya yang hendak makan: menunggu makanan siap, mengantri, mengambil sendiri makanan di dapur (pawon), dan makan bersama sambil lesehan atau duduk di bangku yang telah disediakan.
Kami diarahkan ke samping rumah pemilik, tempat dimana gudeg sedang memasuki tahap akhir. Aroma sedap mulai memasuki hidung. Saya mulai yakin kalau makanan yang hendak kami santap patut diacungi jempol, berbeda dengan Geprek Bu Made yang sebelumnya kata Tika juga enak. Begitu pintu dibuka, semua langsung berebut untuk berbaris. Tika dapat posisi agak depan, lumayan. Saya dan Sista turut mengantri di belakang, sementara Atika duduk manis karena kelelahan.
Pembeli akan ditanyai tentang isian piringnya, mau lengkap atau tidak? Kalau lengkap, ada nasi, gudeg, krecek 2 biji, telur, tempe, dan ayam dada atau paha. Harga sepiring gudeg pawon lengkap Rp 32.000. Kalau mau custom atau dibungkus, ya tinggal request saja. Sambil mengantri, saya, juga pembeli lainnya, sibuk memotret area pawon bahkan ada pula yang langsung update ke Facebook dan Instagram. Saya membatin, luar biasa efek viral ini. (HAMPIR) semua orang jadi berebut nge-hits.
Apa Istimewanya?
Buat saya, pawon pemilik gudeg ini tidak ada yang istimewa. Bagi orang Jawa yang tinggal atau punya saudara di desa, pawon seperti ini bukanlah benda baru. Ada dua lubang untuk meletakkan panci dan wajan. Di bagian bawahnya, tempat yang nyaman bagi kayu bakar untuk mematangkan masakan. Saya yang sebelumnya agak nggreges, jadi merasa lebih hangat di dalam ruangan. Tidak ketinggalan pula kursi dan amben tempat chef beristirahat.
Setidaknya 20 menit kami mengantri, kami langsung keluar menuju teras rumah. Di sana sudah ada beberapa keluarga, beberapa meja makan sudah penuh, tinggal teras dan emperan luar. Iya, makannya, tuh, di emperan alias di pinggir jalan! Unik, memang! Ketika usaha kuliner lain menawarkan cepat saji, efektifitas, kenyamanan menunggu makanan di rumah dengan go food, dan higienitas kelas atas, Gudeg Pawon menghapus itu semua. Dia meminta kita menikmati proses perlahan-lahan, bersabar, dan menunggu giliran. Saya sempat meminta double krecek, bagian kesukaan saya pada menu gudeg. Saya minta begini tentu saya siap bayar lebih. Namun, penjual menolak. “Jangan, Mbak, kalau minta dobel, nanti yang lain nggak kebagian,” begitu katanya. Yawes, lah, bisa diterima alasannya.
Rasa Sebanding Usaha
Begitu sudah dapat tempat duduk dan siap menyantap makanan, akan ada mas-mas yang menawari minuman. Ada wedang uwuh, teh, dan beberapa minuman modern yang dijual. Saya tidak menghiraukannya karena sudah ancang-ancang akan membeli minuman botolan. Saya fokus pada aroma semerbak dari piring yang saya pegang. Nasinya hangat, lauk pauknya juga hangat. Nyam! Rasa manis pada gudegnya pas menurut saya, buktinya, saya menghabiskannya tanpa sisa. Buat saya, seporsi lengkap Gudeg Pawon cukup mengenyangkan. Ayamnya empuk, kreceknya lezat, telurnya juga enak. Makanan habis kami santap dalam beberapa menit sambil mengobrol.
Pukul 22.05, saya mendengar jukir berteriak kepada kendaraan yang lewat dan hendak menepi. “Teroos.. teross.. gudeg habis, teros..” dia dengan terus terang membuat calon pembeli gigit jari. Tapi, Tika mengatakan bahwa apabila stok gudeg masih ada dan antrean telah habis, tulisan “Gudeg Pawon Buka” akan kembali dipasang. Ooh, begitu rupanya! Kami sibuk menerka-nerka apa yang membuatnya enak. Ada yang bilang karena nasi yang hangat, ada yang berpendapat karena prosesnya yang alami, ada pula yang mengatakan karena kita lelah mengantri, lapar, jadi makan gudegnya makin nikmat! Haha, boleh, lah. Saya sependapat juga, namun, diam-diam saya punya asumsi tambahan.
Hidung saya yang sensitif ini, sebetulnya sempat mengendus aroma wewangian bunga, seperti paduan dari aroma mawar, kantil, dan melati, di sekitar lokasi. Saya tidak tahu darimana ia berasal, wanginya pun sangat lembut, hanya muncul sekilas, dan ringan. Mungkin tidak banyak yang menyadarinya. Saya pun masih bisa toleran dengan baunya, tidak seperti di Mirota Batik di Malioboro yang membuat saya langsung putar arah. Saya sempat berpikiran, ah, mungkin hanya halusinasi. Tetapi, setelah saya makan, saya mencium kembali aroma yang sama di sekitar situ. Saya hanya membatin, inilah Jogja. Dulu, awal-awal tinggal di sini, saya sering takut dengan bebauan macam itu. Lama-lama ya terbiasa dan memakluminya sebagai bagian dari kearifan lokal dan budaya.
Enak, Tapi…
Kami pulang ke hotel dengan perut kenyang dan rasa puas karena sudah mencicipi makanan viral. Saya juga senang mendapat pengalaman makan yang berbeda. Sambil mengantri, saya sempat merenungi beberapa hal. Duh, emang dasar sayanya yang pemikir! Tetapi, besoknya, saya sudah lupa rasanya Gudeg Pawon. Saya tunggu lagi sampai siang, saya agak kesusahan mengingat kenikmatan ketika menyantap gudeg asal Umbulharjo itu. Saya pun menyimpulkan bahwa makanan populer ini memang enak, namun, buat saya kurang ngangenin. Meski begitu, saya tidak keberatan untuk mencobanya sekali atau dua kali lagi, ketika ke Jogja dengan keluarga saya, misalnya.
Saya sempat membaca di website GNFI tentang cerita bisnis Gudeg Pawon. Katanya, dulunya penjual menjajakan gudegnya di Pasar Sentul pada pukul 3 pagi untuk mengisi energi para penjual dan pembeli. Karena antusias pelanggan makin tinggi, pemilik memutuskan untuk membuka di rumahnya saja. Saya masih belum paham mengapa mereka memutuskan untuk membuka “warung” jelang tengah malam. Belum saya temukan pula alasannya. Apa karena keunikan saja, kah? Meskipun sebetulnya sekarang jam bukanya sudah menurun dan lebih rasional yakni pukul 21.30 malam.
Oh, ya, tempat ini tidak ramah untuk anak-anak. Saya sempat melihat anak seusia TK yang tertidur mungkin karena kelelahan, tidak banyak tempat yang nyaman untuk duduk, dan batang nikotin yang bisa disulut kapan saja oleh para perokok.
Pingback: Menjadi Traveler Ramah Lingkungan, Bisa Kita Mulai dari Sekarang