Lompat ke konten

“Waduh, maaf, Mbak, nggak bisa wawancara lagi. Kemarin sudah diwawancara 3 orang yang ikut kompetisi juga, ada yang dari Malang, Batu, dan Surabaya.”

Saya tersenyum membaca balasan Mas Eko Cahyono. Saya sudah menduga beliau akan menolak, karena saya menghubungi beliau agak mepet. Saya yakin beliau tentu memiliki berbagai kesibukan. Akhirnya saya meminta izin menulis tentang Mas Eko untuk ketiga kalinya. Beliau mengizinkan. Monggo, begitu katanya.

Mas Eko tetap ramah dan apa adanya seperti 9 tahun yang lalu. Terakhir saya bertemu dengan beliau ketika saya memenuhi undangan peresmian bangunan Perpustakaan Anak Bangsa (PAB) oleh Andy F. Noya. Bangunan inilah yang sekarang dapat ditemukan di Google Maps dan menjadi mata air bagi masyarakat sekitar. Saat itu saya masih mahasiswa dan masih musim liburan. Demi memenuhi undangan beliau, saya menempuh perjalanan 2.5 jam naik bus dari Surabaya. Sesampainya di Arjosari, saya naik angkot jurusan Turen-Arjosari (TA). Baru ketika sudah dekat lokasi, saya naik ojek pengkolan dan menuju ke alamat yang diberikan Mas Eko. Ojek online? Mungkin masih berupa gagasan di benak para pendirinya. 

Sembilan tahun berlalu, saya tak lagi tinggal di Malang dan tidak lagi berkomunikasi dengan Mas Eko. Betapa terperanjatnya saya ketika melihat namanya terpampang sebagai penerima anugerah SATU Indonesia Awards Tahun 2012. Tetapi, apakah sampai hari ini, dia masih mengelola perpustakaan? Anugerah itu dia dapatkan tahun 2012. Ini sudah 2020, saya pesimis dia masih tidur di antara ribuan buku itu.

Ketika saya menengok akun Instagramnya, saya mendapati penampilan Mas Eko berubah, dia menjadi lebih bugar karena rajin berlari dan berolahraga. Setelah 22 tahun, lelaki yang pernah bercita-cita menjadi pemain bulu tangkis ini akhirnya lebih total beraktifitas di bidang yang digemarinya sejak dulu, yaitu olahraga. Sejak lima tahun terakhir, Mas Eko mengaku bahwa ia mulai mengurangi kegiatan di bidang literasi. Lelaki kelahiran tahun 1980 ini memilih untuk lebih aktif di lintasan lari. Ia gemar mengikuti perlombaan lari jika ada waktu luang. Jiwa sosialnya pun tetap membuncah di jalur pelari. Tak jarang ia berlari untuk kegiatan sosial atau yang lebih populer disebut run for charity

Lima belas menit saya mengamati media sosial miliknya, ada satu kegiatan yang saya lihat tidak bergeming dari posisinya, yakni konsistensinya menjaga minat baca. Ia masih mengelola Perpustakaan Anak Bangsa, sebuah taman baca masyarakat yang didirikannya secara mandiri. Saya sempat menyaksikan perkembangan PAB sejak ia “hanya” dilindungi oleh bangunan berdinding anyaman bambu dan beratapkan asbes berukuran 6×12 meter hingga kini telah berdiri kokoh bangunan sendiri yang sangat nyaman dengan koleksi buku yang beragam. Diam-diam, saya kembali kagum dengan konsistensi dan ketulusan seorang Eko Cahyono untuk menjaga kegemaran membaca di kalangan masyarakat.

Tentang Ide untuk Menjual Ginjal

Saya masih teringat ketika saya hendak melakukan liputan untuk majalah kampus. Saat itu, dari Kota Malang ke Turen terasa jauh, mungkin karena saya masih berstatus mahasiswa baru dan belum mengenal Malang. Motor matic teman saya pun terpaksa bersahabat dengan jalan desa yang berlubang. Semua itu demi menemui seorang Eko Cahyono yang membuat kami penasaran.

Berita yang kami baca saat itu adalah lelaki ini ingin memertahanan perpustakaan dengan menjual ginjal. Kami tak habis pikir dengan kengototannya. Setelah saya duduk di dalam gubuk taman bacanya, saya belajar memahami alasan gilanya untuk menjaga nadi perpustakaan tetap berdenyut. Ya, PAB memiliki nyawa. PAB turut menjaga nurani dan mengasah akal para anggotanya yang sebagian besar merupakan para pelajar di Kecamatan Jabung.

PAB tahun 2007 (dokumentasi pribadi)
Peresmian PAB yang baru bersama Andy F. Noya. Saya mengenakan kerudung hijau (dokumentasi pribadi)
Eko Cahyono pada acara peresmian PAB (dokumentasi pribadi)

Taman baca yang ia rintis sejak tahun 1998 ini awalnya menggunakan rumah orang tuanya sebagai “markas” pembaca. Lama-lama, rumah tersebut ramai pengunjung dan orang tuanya mulai komplain. Eko pun memutuskan untuk mengontrak rumah agar mendapat solusi terbaik: taman bacanya tetap berjalan, orang tuanya pun tidak kerepotan.

Tetapi, masalah belum selesai sampai di situ. Karena ia menyokong perpustakaan secara mandiri, Eko pun harus berpindah-pindah kontrakan agar pas dengan kantongnya. Sebelum memiliki bangunan tetap, Eko telah sembilan kali pindah rumah kontrak demi mempertahankan perpustakaan mandiri itu.

“Pernah suatu ketika, buku-buku saya ada di jalanan. Karena pada saat itu, masa kontrakan saya telah habis dan saya belum mendapatkan rumah kontrak baru. Tiga hari setelahnya baru dapat, dan langsung usung-usung buku lagi.” kenangnya.

Uniknya, ia tidak pernah keluar dari Desa Sukopuro. Bantuan dan tawaran untuk lokasi perpustakaannya memang ada, tetapi, semua ditolak oleh Eko. Sebab, ia tidak ingin para pelajar dari 35 desa di daerah Kecamatan Jabung kesulitan akses untuk taman bacanya.

Perkara tentang menjual ginjal melintas di pikirannya pada tahun 2007. Saat itu, Eko kebingungan lantaran tanah yang disewanya akan dijual oleh pemilik. Padahal, PAB baru saja dibangun dan telah memakan biaya 7 juta. Pada saat yang sama, ia tak memiliki pemasukan tambahan. Dompet yang tak berpenghuni ini mendorong kemunculan ide untuk mendonorkan ginjal.

“Awalnya aku nggak tau kalau ginjal itu bisa didonorkan. Setelah membaca artikel di sebuah majalah, ternyata memang bisa. Apalagi setelah diperiksa, kondisi ginjal saya masih sangat sehat. Tapi ternyata Tuhan belum mengijinkan. Kandidat penerima ginjal saya telah meninggal sebelum saya sempat mendonorkan ginjal,” Eko menjelaskan panjang lebar. “Itu memang ide gila di tahun 2007. Saat itu warga dan wartawan sempat heboh. Saya juga sedikit menyesal. Tetapi, biarlah itu menjadi bagian dari pengalaman hidup saya,” timpal Eko.

Sejak hari pertama Eko mendirikan PAB, ia menanggung sendiri biaya operasional perpustakaan. Tahun 2010, ketika saya berkunjung ke lokasi PAB yang masih berupa gubuk bambu, Eko harus mengeluarkan biaya sekitar 75.000 per bulan untuk biaya listrik, membeli alat tulis, dan lain-lain. Pemasukan itu berasal dari pekerjaan Eko sebagai penjaga stan buku di pameran-pameran, menjual gorengan, dan sumbangan orang yang diberikan untuk PAB.

Tentang Ketelatenan Memupuk Tunas Literasi

PAB tidak ujug-ujug ramai dan banyak pengunjung. Eko sempat mengalami hari-hari kelabu karena kesulitan mengajak pelajar dan masyarakat untuk membaca. Perpustakaan pun menjadi sepi pengunjung. Bagi masyarakat desa, membaca tidak terlalu membawa manfaat.

Tak kurang akal, Eko menyediakan beberapa pancingan seperti karambol, playstation, catur, gitar, dan beragam permainan lainnya. Akhirnya, taman baca mini itu ramai. Namun, awalnya masyarakat yang datang bukan untuk membaca, melainkan bermain. Karena alat permainan yang disediakan hanya berjumlah satu set, masyarakat yang mengantri pun menunggu sambil baca-baca. Itu menjadi titik awal perkenalan masyarakat Desa Sukopuro dengan kegiatan membaca. Tiga tahun setelah itu, Eko menyingkirkan semua pancingan karena niat mereka datang sudah jelas, yaitu untuk membaca.

Permasalahan pun berganti dari yang awalnya Eko kesulitan mengajak masyarakat untuk membaca, berganti menjadi apa yang akan dibaca masyarakat hari ini. Akhirnya Eko mulai bergerilya ke Kota Malang. Ia memasang pengumuman mengenai sumbangan buku di sejumlah toko buku terkenal di kota, di radio, dan Perpustakaan Kota Malang.

Tumpukan kiriman buku oleh berbagai lembaga.

Dengan cepat bantuan buku dari masyarakat luar Desa Sukopuro datang ke perpustakaannya. Pada tahun 2010, Eko berhasil mengumpulkan kurang lebih 1400 penyumbang dengan total buku 28000 eksemplar. Sekarang, ia tak perlu angkat kaki dari sofa nyamannya, buku-buku itu telah mampu berjalan sendiri. Hingga sekarang, Eko masih sering menerima sumbangan buku melalui perseorangan hingga lembaga. Buku-buku di perpustakaan pun menggunung dan ada yang belum dikeluarkan dari kardus. Terkadang, sebagian buku ia distribusikan ke taman baca yang menjadi perpanjangan tangan Perpustakaan Anak Bangsa yang tersebar di 35 desa di tujuh kecamatan se-Kabupaten Malang antara lain Poncokusumo, Tumpang, Wates, Kepanjen. 

Ada satu hal unik di PAB yang pasti membuat pengunjung menyunggingkan senyum saat memilih buku bacaan, yakni penamaan kategori buku. Sejak dulu, saya perhatikan Eko suka nyeleneh dalam memberi nama rak buku sesuai jenisnya. Ketika sudah pindah ke bangunan tetap, ia juga masih melakukan kebiasaan yang sama. 

Tentang Prestasi yang Tak Membuatnya Tinggi Hati

Vibrasi ketulusan Eko mulai terasa di berbagai lembaga dan komunitas. Perlahan, dukungan mengalir padanya dan PAB melalui pemberian penghargaan lokal dan nasional. Dari puluhan penghargaan itu, ada dua yang paling berkesan di hatinya, yakni ketika ia dinobatkan sebagai Runner-Up Pejuang Sosial dari Kick Andy di Metro TV tahun 2010 dan ketika ia mendapat anugerah SATU Indonesia Awards tahun 2012. Sejak saat itu, penghargaan untuknya makin ramai mampir. Ia selalu menerima dengan baik, namun, ia menegaskan bahwa bukan itu tujuannya membangun taman baca masyarakat. Baginya, para pengunjung yang mau mengubah niat dari yang awalnya tidak mau membaca jadi gemar membaca itulah yang harus diberi penghargaan. Ia selalu menganggap dirinya sebagai fasilitator, tidak lebih.

Eko tidak pernah menduga akan mendapatkan penghargaan dari apa yang diperbuatnya. Apalagi ketika ia berhasil lolos sebagai penerima SATU Indonesia Awards tahun 2012. Sebab, pada saat itu, ada sekitar 1800 orang yang diseleksi, disaring hingga 500 orang, kemudian dipilih lagi finalis setiap bidang. Eko merasa ada banyak pahlawan sosial di luar sana. Namun, mendapat penghargaan ini, membuat Eko kian bersyukur karena membawa perkembangan untuk PAB. Astra tidak hanya memberikan pembinaan, tetapi juga dukungan peralatan untuk perpustakaan seperti rak buku, sampul buku, bantuan dukungan untuk perpustakaan keliling PAB, dan peralatan ATK untuk anak-anak yatim piatu di sekitar desa Sukopuro. Hingga kini, pihaknya dengan Astra juga masih saling berkomunikasi, mendukung, dan bersinergi.

Jepretan Layar 2020-12-31 pukul 16.01.14
Penerima SIA tahun 2012 dan 2015 (doc: Instagram @ekocahyonoangsa)

Namun, penghargaan tidak pernah menyilaukan matanya. Eko tetaplah orang yang sederhana dan lebih bangga pada prestasi anak-anak anggota perpustakaannya. Dulu, tahun 2010, dia dengan bangga memamerkan pada saya deretan prestasi anak-anak yang “sekolah” di taman bacanya. Gubuk kecil milik Eko itu sering menjadi panggung untuk lomba mewarnai, membaca puisi, dan membuat origami anak-anak. Beberapa anggota PAB usia remaja dan anak-anak juga aktif membuat cerpen dan dimuat di beberapa media massa. PAB juga tak luput menjadi markas diskusi pemuda desa setempat. Eko pun mengungkapkan bahwa tema diskusinya sangat beragam, mulai dari yang sepele seperti percintaan, hingga tema keagamaan dan kenegaraan.

“Kadang, saya sendiri sampai takut, karena saya nggak menguasai tema mereka,” celoteh Eko.

Sekarang, kegiatan di bangunan barunya lebih beragam lagi. Mulai dari kumpul santai, penyuluhan, hingga kegiatan pembelajaran, bisa diadakan di PAB. Pernah Eko berkisah melalui akun Instagramnya bahwa ketika ia masih tertidur pada pagi hari sekitar pukul 06.00, perpustakaan sudah ramai anak-anak yang sedang membaca buku dan berebut ATK. Pada saat pandemi ini pun, perpustakaannya banyak membantu anak-anak yang harus belajar secara daring dan butuh lokasi yang lebih kondusif untuk belajar.

Tentang Buku yang Tak Pernah Hilang

Keanggotaan di PAB juga sangat mudah, bebas, dan tidak dipungut biaya. Eko tidak menerapkan persyaratan yang macam-macam dan tidak membatasi berapa buku yang boleh dipinjam hingga batas waktu pengembalian. Tak jarang ada anggota yang meminjam 15-20 buku. Pernah ada mahasiswa yang KKN di desanya meminjam 120 buku, Eko juga mengizinkan. Tahun 2015, PAB memiliki 9000 anggota dan 70 jaringan perpustakaan yang tersebar di Malang, Trenggalek, Pasuruan, hingga Sumenep. Anggotanya sendiri tersebar di berbagai kota di Indonesia. Tidak hanya dari Malang, Batu, Surabaya, Blitar, Gresik, dan kota-kota di Jawa Timur saja, melainkan juga di Jakarta. Saat ini, saya tebak jumlah anggotanya sudah di atas 10.000 orang.

Eko tidak pernah hard feeling dengan buku yang dipinjam dan tidak kembali. Kendati perilaku itu tidak disukainya, baginya, buku itu tidaklah hilang. Terlebih, buku-buku itu bukan miliknya, melainkan pemberian para penyumbang untuk PAB. Bagi Eko, buku di perpustakaan tidak pernah hilang. Mereka tetap ada, hanya saja, tidak terdeteksi. Dia yakin buku hanya berpindah tempat, berpindah manfaat, dan tetap dibaca.

“Sejatinya, buku yang hilang adalah buku yang dengan tenang dan rapi tertata di rak buku dan jarang dibaca,” tegasnya.

Prinsip ini yang menjadikan Eko seorang penjaga minat baca dari Bumi Arema. Lelaki yang “hanya” tamatan SD ini telah berhasil menggaet ribuan manusia mengenal buku, mengenal aksara, dan menelurkan karya karena membaca. Dari kepeduliannya, tanpa ia sadari, mungkin telah lahir pemuda-pemuda yang peduli dengan lingkungan, pemuda yang turut memiliki kepekaan sosial, dan bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti anak-anak itulah yang akan memimpin bangsa. Eko hanya melakoni kata hatinya dengan optimisme dan rasa percaya. Bahwa niat baik, konsistensi, dan kesungguhan melakukan perubahan, dapat membawa pengaruh besar.

17 tanggapan pada “Penjaga Minat Baca dari Bumi Arema”

  1. Di rumah mamaku sempet buka perpustakaan juga mbak, isinya hanya buku2 kolekai di rumah dari pelajaran planet sampai komik2. Bisa dibaca gratis juga tanpa disewain, tapi hanya boleh baca di rumah. Hehe.

  2. bapak ini semoga sehat selalu dan dikaruniai umur berkah dan harta melimpah. Bapak ini masih mending pengen jual ginjal untuk bangun perpustakaan, ada anak muda pengen jual ginjal buat beli Iphone.. ka iron men eh ironi

  3. Mashoookk, Pak Eko!!
    Amal jariyah yg siap mengantarkan generasi penerus bangsa untuk terus menambah wawasan dan memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa ini.
    Keren sangat, masyaALLAH TabarokAllah!

  4. Masya Allah inspiratif ya Mbak, Mas Eko ini. Beliau dengan segala keterbatasannya telah menularkan minat baca dengan gayanya sendiri.

    Meski prestasi telah diraih dan perkembangan PAB menjadi lebih mendukung harapannya, beliau masih juga tawadhu’

    Sukses selalu untuk Mas Eko

  5. ya ampun aku selalu terpukau dengan semangat orang-orang seperti beliau. Pernah dulu ada juga dari sumatera yang mendirikan perpustakaan keliling bermodalkan motor. Dan Alhamdulilah berkat social media banyak yang membantu.

  6. Wuah…salut dengan kegigihan Mas Eko Cahyono dalam mendirikan perpustakaan anak bangsa. Kecintaannya pada literasi membuat beliau berguna untuk masyarakat sekitarnya ya. Semoga usahanya bisa mengajak masyarakat cinta literasi

  7. Mulianyaa…
    Andaikan anyak orang yang berpikir seringan ini, mashaAllah…indahnya dunia.
    Semoga semua yang membaca dengan sungguh-sungguh akan diberikan ilmu dan mengalirkan pahala ke Mas Eko Cahyono.

  8. Wah bagus banget pak eko ini bukan saja menghidupkan semangat baca tapi juga semangat bersinergi yaa dengan taman baca. Apalagi sekarang banyak teralih anak anak dengan gadget. Alhamdulillah masih banyak harapan generasi muda ini

  9. Keren sekali Pak Eko ini, salut banget sama perjuangannya untuk menyediakan wadah yang mampu meningkatkan literasi masyarakat. Semoga sehat selalu ya, dan semakin banyak nantinya lahir Pak Eko-Pak Eko yang lain lagi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *