
Sebelum berangkat, saya nggak punya wawasan yang banyak tentang Turki. Yang saya tahu, di sana merupakan salah satu negara tempat peradaban Islam tumbuh, berkembang, dan redup. Sejarahnya sendiri, saya hanya tahu permukaannya, tidak terlalu dalam. Perkenalan pertama saya dengan Turki adalah saat kelas 3 SMA. Ayah sempat mendapat tugas ke Turki untuk menemani agenda student exchange-nya siswa-siswi Indonesia. Saya tidak terlalu ingat detailnya saat itu. Yang pasti, Ayah pulang dengan membawa kekaguman yang sangat besar terhadap Turki. Beliau tidak berhenti berkicau tentang Turki sampai seminggu setelahnya. Beliau menunjukkan kepadaku betapa cantiknya wanita-wanita Turki. Pipinya mengkilap bagai porselen. Saat saya lihat, ya benar saja nampak glowing, lha wong Ayah motretnya pake blitz!
Kisah Ayah selanjutnya membuat saya tidak menginterupsinya. Ayah mengatakan di sana ia melihat banyak benda bersejarah dalam peradaban Islam, juga dalam kehidupan Rasulullah. Aku mengambil buku yang dibawanya. Aku bolak-balik dan langsung jatuh cinta. Pesona cinderamata bernuansa biru yang meneduhkan, arsitektur yang unik dan sangat khas, membuat aku langsung bertanya ke ayah, “Kapan ayah ngajak aku ke sana?” dan beliau menjawab dengan semangat, “Suk kapan-kapan, insya Allah kalau ada rezeki kita agendakan ke Turki!”
Janji Ayah menguap bertahun-tahun, sampai anaknya sudah beranak dua dan bisa ke Turki dengan usahanya sendiri! Tapi syukurlah Ayah nggak lupa janjinya, jadi masih berkenan nyangoni anaknya hahaha. Upayaku untuk bisa ke negara dua benua inu bukanlah yang pertama kali. Saat kuliah dulu, aku sempat mencari kesempatan student exchange ke Turki, namun belum berjodoh. Lah, malah ke Turki gratis kali ini, justru di luar rencana.
Baca juga: Ke Turki Gratisan? Kok Bisa??
Dear Turki, Aku Terpukau
Saya langsung menelanjangi itinerary yang dikirim oleh Mbak Jannah, admin Cheria Travel yang melayani saya. Degup jantung semakin intens, tanda saya sangat gembira! Tapi saya berusaha menahan agar ekspektasi saya tidak terlalu tinggi dan fokus pada persiapan. Kalau persiapan saya sih mudah ya, lha si bayi ini lhoo yang juga perlu persiapan mau ditinggal bundanya 11 harian hehehe.
Saya bahagia banget mendapati kenyataan saya akan berkeliling Turki. Ya, ber-ke-li-ling. Nggak semua kota didatangi, sih, cukup ke kota dengan pesona sejarah dan destinasi yang turis banget. Total saya mengunjungi 8 kota yakni Istanbul, Bursa, Eskisehir, Kusadasi, Pamukkale, Konya, Cappadocia, dan Ankara. Tidak semua kota kami inapi, diantara semuanya, hanya Bursa dan Konya yang numpang sholat saja di masjid ternama. Delapan kota selama 9 hari, kalo ditotal ama perjalanan PP nya sekitar 11 hari, lah. Legrek gak tuh awak?
Bisa dibayangkan kami setiap hari berpindah bobok. Sempat menginap 2 hari di hotel saat di Cappadocia karena memang jadwalnya lebih panjang di sana dan jarak antara Pamukkale ke Cappadocia dan Cappadocia ke Ankara cukup jauh. Kami berpindah-pindah tempat menggunakan bus ber-wifi yang sangat nyaman. Nggak pake AC, tapi pake heater karena lagi winter. Saya bisa nyuri waktu tidur dan memanfaatkan perjalanan panjang untuk pumping di bus.

Menghabiskan waktu yang cukup banyak di perjalanan tidaklah membuat saya lekas bosan. Saya justru sangat menikmati waktu sendiri yang berharga. Selama 4 tahun terakhir, bisa dihitung jari kapan saya bepergian sendiri. Izin yang diberikan oleh suami untuk saya, sangat saya apresiasi dan syukuri. Pak Sobari, Tour Leader dari Cheria Travel saja keheranan, bagaimana mungkin seorang suami (muslim) mengizinkan istrinya traveling sendirian? Well, nggak sendirian juga, to? Ada rombongan lainnya! Hehe.
Kerjaan saya kalo di jalan cuma bengong mengamati rumah penduduk, pedesaan, perbukitan, dan jalan yang tertutup salju. Kalau beruntung, saya bisa menyaksikan kebun pohon zaitun yang luas, kebun buah berry-berry-an dan kebun jeruk yang siap panen. Kami juga melewati beberapa landmark misalnya Desa Uludag di Bursa dan Caravanserai saat menuju Pamukkale.

Saya nggak mudah melupakan bentang alam Turki yang amazing. Terkadang saya membayangkan kuda-kuda perang berlarian mendaki dan menuruni bukit, musafir yang berteduh di bawah pepohonan, serta membayangkan betapa hebatnya para pemimpin yang bisa membangun Turki: era Bizantium, Seljuk, Ottoman, dan era modern pasca Mustafa Kemal Ataturk. Banyak kontroversi memang, terutama kalau kamu search pakai Bahasa Indonesia tentang Mustafa Kemal Ataturk dan membaca di website-website muslim yang cenderung menjelekkan Ataturk karena menjadikan Turki sebagai negara sekuler. Kontroversi ini nggak hanya di Indonesia. Kalau kamu memang berniat memahami sejarahnya, ada baiknya mengetik dengan Bahasa Inggris di kolom pencarian dan masuk ke website ensiklopedia semacam Britannica. Terlepas dari kontroversi yang ada, saya sungguh mengagumi kerja keras beliau dalam membuka diplomasi dan memindahkan ibukota Turki ke Ankara, yang semula berada di Istanbul saat Era Ottoman. Alasan pemindahannya sederhana: agar jauh dari pelabuhan dan tidak mudah dikuasai musuh.

Perjalanan antar kota hampir selalu melewati perbukitan yang tinggi, dengan jalanan yang berkelok dan kadang menanjak agak curam. Saat musim dingin begini, jadi agak ngeri, karena ban bisa selip kapanpun. Namun, berkat driver yang handal, ketakutan itu perlahan hilang dan saya bisa kembali menikmati pemandangan dengan tenang.
Soal ban yang hampir selip ini saya ada cerita. Sebelum kejadian, saya ingat betul kami lagi otw untuk melihat pertunjukan Tari Sufi Mevlana di Cappadocia menuju Ankara. Kebetulan saat itu cuaca memang sedang buruk, jalanan tertutup salju tebal membuat Pak Supir tidak bisa melaju kencang. Dengan laju yang lambat dan nggak sampai-sampai di lokasi, entah kenapa saya jadi mengantuk dan tertidur pulas.
Saya terbangun karena suara decit ban mobil yang harus berjuang di jalan yang belok ke kiri dan menanjak. Saat itu hari sudah hampir gelap dan tidak ada kendaraan lain yang melintas kecuali bus milik ITM Travel yang kami naiki. Bu Niar di depan saya terus melafalkan Al-Fatihah dan dzikir. Mas Ivan dan Pak Moeljatno yang duduk di sebelah kanan saya sampai berdiri mengamati situasi. Sontak saya menempelkan muka ke jendela di samping kiri saya. Masih dalam kondisi setengah sadar, mulut saya berkomat kamit membaca Ayat Kursi agar selamat. Dan alhamdulillah, Pak Supir mampu mengatasinya!

Tiba-tiba Mas Rizal, anaknya Bu Niar nyeletuk dari belakang saya. “Mbak Nabilla nih, lagi genting tidurnya nyenyak banget..”
Saya cuma bisa melongo, mencoba mengingat-ingat se-lama dan se-khusyuk apa tidur saya tadi. “Eh, emang iya ya?”
Pak Sadikin, suami Bu Niar yang duduk di depan saya menjawab. “Iya mbak, hehehe.” Pak Moeljatno dan Mas Ivan yang tadinya berdiri, kembali duduk sambil nyengir, “Iya nih, pules banget Mbak Billa…”
Ehe. Malu.
—
Kalau saya ditanya, kota yang paling mengesankan selama di Turki, saya mungkin tidak bisa menjawab. Semuanya punya ciri khas yang memikat hati saya. Seperti di Indonesia, saya tidak bisa mendapati bakso yang enak di kota lain selain Malang. Saya juga tidak akan menemukan cita rasa gudeg se-lezat di Jogja. Turki pun demikian. Menurut saya, Turki cukup bagus dalam mengelola pariwisata. Mereka mengajak kami berkeliling dan mencicipi kudapan, budaya, dan sejarah masing-masing kota. Nggak ketinggalan, mereka juga menarik wisatawan untuk berbelanja produk lokal, atau mungkin bisa dibilang UKM-nya Turki kali ya. Saat di Istanbul, saya sempat pusing dengan kepadatan kota sekaligus kagum dengan komitmen mereka untuk mempertahankan lokasi bersejarah. Di Bursa, saya terpukau dengan masjid dan keteguhan umat Islam dalam beribadah. Di Kusadasi, saya terpikat dan haru oleh toleransi antar umat beragama sekaligus ketangguhan umat Islam dalam mempertahankan sebuah masjid. Di Cappadocia, saya berkesempatan melihat tumpukan salju paling tebal sepanjang hidup saya. Semuanya punya tempat yang indah di hati dan memori kamera! Saya sudah menyiapkan beberapa draft tentang berbagai kota dan destinasi di Turki ini. Mohon bersabar menunggu, ya!
Saya jadi kepikiran program kayak gini pasti asik kalau bisa diterapkan di semua provinsi di Indonesia, nggak hanya di Bali. Saya membayangkan ada program Visit Jawa Timur yang mengajak wisatawan berkeliling naik bus selama 10 hari mulai dari menikmati sejarah kota Pahlawan Surabaya, wisata kuliner dan keluarga di Kota Malang dan Batu, menikmati karnaval, tarian, dan pantai yang indah di Jember, Banyuwangi, dan Trenggalek, berbelanja produk lokal di Kediri dan Madiun… ng… mana lagi, ya? Saya yakin bakal menghidupkan UKM lokal dan mereka bisa terus bersinar dengan cara yang lebih kreatif, tidak bergantung dari satu pintu saja.

Totalitas Melayani ala Cheria Travel
Seperti ciri khas perusahaan travel and tour lainnya, traveling dibuat berkeliling ke tempat yang tourisity dan mainstream di negara tujuan. Buat saya tentu sama sekali nggak masalah, karena memang lokasi wisata itu yang ingin saya lihat dan jelajahi. Kemudian, ciri khas lainnya adalah faktor kenyamanan yang diutamakan. Buat saya, hotelnya termasuk mewah. Sebelum berangkat, saya sempat ngepoin hotel-hotel di Google Business dan ketawa sendiri. Nggak pernah liburan dan ngamar di hotel, sekalinya ke hotel, gerudukan.
Cheria Travel memberikan komitmen untuk menginap di hotel bintang 4 atau yang setaraf. Mengapa ada atau-nya? Karena saat ke Turki, kami berkeliling, termasuk ke kota yang tidak seramai dan se komplit ibukota atau kota metropolitan. Jadi tentu agak susah untuk mencari yang fasilitasnya paripurna. Terkait hotel yang saya singgahi ini, insya Allah bakal ada reviewnya juga. Menurut saya, fasilitas penginapan dari Cheria Travel 4.7/5 lah ya, karena memang senyaman itu. Untuk makannya pun, kami diberi makanan halal lokal dan makanan Indonesia (beneran dibawa ke warung Indonesia dan makan soto!) sebanyak 3x sehari. Sarapan ama makan malam seringnya di hotel, kalau makan siang biasanya mampir di resto gitu. Saat mencoba mengobrol dengan peserta lain yang pernah menggunakan jasa travel lainnya, mereka pun berpendapat kalau pelayanan Cheria bagus banget. Teman ngobrolku itu cerita, di travel lain, ada yang makan barengnya cuma 2x, sisanya cari sendiri.

Terakhir, Cheria Travel juga membawa kami untuk belanja belanji. Agak malesin awalnya, tapi kok ketagihan, ya? Hahaha gawat banget dah. Aku pikir kayak di Indonesia yang asal aja dibawa ke tempat belanja, tapi rupanya, toko-toko pilihan Cheria Travel itu termasuk UKM lokal dan kualitasnya memang sangat baik dibanding di tempat belanja mainstream di Turki macam Grand Bazaar. Terkait hal ini, insya Allah juga akan saya ulas di lain kesempatan.
Sebagai peserta gratisan, saya cenderung manut apa kata tour leader dan tour guide. Kebetulan, karena cuaca yang buruk, ada dua destinasi yang terpaksa harus dibatalkan. Yang pertama, di Mount Erciyes untuk naik kereta gantung dan main salju. Bukan permintaan si Tour Guide, melainkan keputusan pemerintah lokal yang menutup total jalan. Kalau sudah begitu, ya mau nggak mau kita ubah rencana, dong. Tapi ya ada aja yang protes dan minta uang kembali. Tapi pihak Cheria Travel yang diwakili oleh Tour Leader-nya berusaha bijak dan memberi solusi dengan menghadirkan bonus-bonus lain, misalnya diskonan gede saat belanja dan tambahan lokasi wisata alternatif.
Destinasi kedua yang batal adalah Topkapi Palace. Sempat saya kecewa berat gegara ini. Memang belum dikasih aja sama Allah kali ya, sebab selain itinerary yang padat, jadwal kunjungan yang sangat dekat ke keberangkatan pesawat menuju Indonesia, cuaca yang kurang bersahabat, ada human error dari salah satu peserta yang mengakibatkan kami harus membuang waktu 30 menit lebih untuk mencarinya. Saya juga belum sempat nyobain kebab khas Turki di Doner Kebab dan pengalaman beli es krim yang ditarik-tarik itu looh hahaha. Tapi gapapa sih, jadi ada alasan untuk kembali ke sana, kan? Hihi.
Kendaraan? Saya sangat bersyukur bisa terbang bersama Cheria karena bisa ngerasain pengalaman naik Qatar Airways *ndeso mode: on* dan naik bus pariwisata yang bagus! Dengan fasilitas yang diberikan, saya jadi bisa istirahat enak, bisa membaca, menulis di perjalanan, dan bisa pumping selama perjalanan dengan baik. Sangat membantu saya yang berjalan sendirian.
Bagusnya doang nih, jeleknya apa ya? Nggak ada, karena ya memang nggak ada. Tapi ini tentu relatif ya. Sesampainya kami di Sabiha Gokcen International Airport plus mengurus pemeriksaan di imigrasi, kami langsung diminta untuk bertemu tour leader dengan membawa koper masing-masing. Saat lagi asyik mendorong koper dan ngerekam sana-sini, ada seorang ibu yang mendekati saya sambil berbisik, “Mbak, saya tuh selama traveling baru kali ini, lho, ndorong koper sendiri. Bell boy nya kemana? Masa gak bisa sih cari tukang bawa koper, gitu?”
Saya yang diajak ngobrol cuma bisa ndomblong. Sungguh sebuah kalimat yang mempertegas isi dompet! Apa coba yang bisa saya katakan selain, “Oh iya bu, mungkin mereka ada mis-kom. Coba saja ditanyakan. Kalau saya biasa aja bu dorong-dorong sendiri. Dulu malah doyan bawa ransel tinggi hehehe!”
Belakangan, saya dengar komplainan si Ibu sudah dikonfirmasi oleh Tour Guide kami. Dia menjelaskan bahwa tidak mudah mencari Bell Boy di Istanbul dan tidak di semua kota ada. Terbukti, saat di kota-kota selanjutnya koper kami dibawakan dan diantar ke kamar masing-masing. Oh, baru kali ini saya jalan-jalan penuh kemudahan!
Hm.. apa lagi ya? Coba tanya aja deh di kolom komentar tentang Cheria Travel dan perjalanan saya kemarin. Insya Allah akan saya jawab 🙂
Pingback: Pengalaman Berharga Mengatasi Anemia Bayi dengan N.U.T.R.ISI - Bunda Traveler
Pingback: Pengalaman Mengatasi Anemia Pada Bayi dengan NUTRISI
Pingback: Transformasi Digital dengan Teknologi Widya Analytic