Lompat ke konten

Isa Bey Camii, Hadiah dari Tour Guide untuk Kami

Saya teringat pagi itu sangat cerah di Kusadasi. Kami sempat bermalam di hotel tepi pantai. Serap, Tour Guide kami, mengatakan bahwa Kusadasi sangat menyenangkan untuk dinikmati kala musim panas. Tentu karena pesona Aegean Sea. Namun, sebetulnya Kusadasi lebih dari itu. Kusadasi sangat berdekatan dengan Izmir dan Selcuk, dimana di wilayah tersebut juga banyak sisa peradaban yang bisa kita nikmati. Selain itu, kusadasi juga memiliki banyak jeruk fresh mulai dari yang kecut dan menjadi hiasan di tepi jalan hingga yang manis dan bermanfaat untuk kesehatan. 

Serap menyayangkan kami hanya sejenak di Kusadasi. Jika ada waktu, dia ingin menunjukkan House of Virgin Mary dan Isa Bey Mosque. Dia kemudian berkata kembali kalau agak mustahil mengunjungi House of Virgin Mary karena lokasinya yang tidak sejalan dengan destinasi selanjutnya. Meski begitu, dia keukeuh untuk menunjukkan Isa Bey Mosque kepada kami. Baginya, sebagai ummat muslim kami harus menyaksikan kemegahannya dengan mata kepalanya sendiri. 

Rasa penasaran saya mulai terpantik ketika Serap mengatakan, “Masjid ini berdekatan dengan gereja.” Hm.. menarik!

Patung di depan Masjid Isa Bey

Curi Waktu untuk Isa Bey

Saya lihat mayoritas anggota tur setuju untuk mencuri waktu ke Isa Bey Mosque, jadi, tidak ada suara sumbang di grup. Kami ke sana seusai dihasut untuk membeli oleh-oleh di salah satu toko souvenir di Kusadasi. 

Jalan menuju Isa Bey agak menanjak, karena Isa Bey Mosque berada di kaki bukit Ayasoluk. Secara geografis, Isa Bey sudah masuk ke wilayah Selcuk. Dari jalan masuk ke lokasi, kita disuguhkan pemandangan reruntuhan gereja Basilica of St. John, gereja yang disebut oleh Serap berdekatan dengan Isa Bey. 

Penjual di dekat pintu masuk masjid.

Masjid ini jauh dari kata tourisity. Tidak banyak turis, tidak banyak toko souvenir, dan tidak ada buku yang dijual di sekitar lokasi untuk memperkaya informasi tentang sejarah Isa Bey. Seingat saya, hanya ada rombongan kamu dan dua mobil yang terparkir. Lokasinya dekat persawahan atau perkebunan dan rumah-rumah warga. Pemandangan ini agak berbeda jika saya bandingkan dengan masjid terkenal lainnya di Turki, sebut saja Grand Mosque, Green Mosque, dan Blue Mosque yang terletak di pusat keramaian. Meski terkesan terpencil, kecantikan Isa Bey tidak terhijab.

Warna masjid khas Era Selcuk: dominan bebatuan warna krem, biru muda, sedikit aksen turquoise, dan warna coklat tua. Batu yang menjadi penopang bangunan juga masih terlihat sangat kokoh. Serap mengatakan kalau batu-batu yang digunakan sama seperti di Grand Mosque.

Berfoto di depan pintu masuk Masjid Isa Bey

Pintu masuknya kecil, dengan tangga di kanan dan kiri ala panggung. Sayang, ketika saya ke sana, menaranya sedang direkonstruksi. Kalau tidak salah, menara ini bukanlah bangunan asli sebab dulunya sudah pernah rusak akibat gempa bumi. Serap berulang kali menjelaskan bahwa proses rekonstruksi bangunan bersejarah di Turki selalu rumit, mulai dari perihal izin hingga perihal pencarian bahan-bahan yang sama kuatnya dengan batuan asli. 

Sederhana nan Jelita

Usia Isa Bey memang terbilang tua, terlihat pula dari bukti pada eksterior dan interior bangunan. Namun, seperti masjid tua lainnya di Turki, rasanya mereka, nih, makin tua malah makin berharga dan mempesona. 

Kalau saya perhatikan, area utama yang digunakan shalat hanya separuh bagian bangunan. Sisanya, adalah area untuk berjalan-jalan, area wudhu di tengah, dan taman di sekeliling tempat berwudhu. Karena tidak banyak informasi yang bisa saya gali tentang masjid ini, saya mulai berimajinasi. Saya membayangkan dulunya sudut-sudut masjid penuh dengan ummat yang melingkar dan sibuk dengan majelis ilmu. 

YAY!
Lokasi foto yang cakeup!

Perpaduan musim dingin dan lokasi Isa bey yang terletak di kaki bukit, membuat saya kudu siap berwudhu dengan air es jika ingin shalat. Karena airnya terasa seperti salju versi cair, hanya ada 4 orang yang berani shalat. Saya tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk beribadah di masjid yang terus teguh berdiri sejak pemerintahan Selcuk ini.

Di pintu masuk tempat shalat terdapat anjuran berpakaian bagi muslimah. Kalau ada muslimah yang tidak berjilbab, non muslim, maupun turis asing yang ingin masuk, bisa menggunakan jubah panjang lengkap dengan tudungnya. Saya sempat gembira melihat beberapa tumpukan buku dan brosur dari kejauhan. Tetapi, rupanya mayoritas buku dan brosur tersebut merupakan pengenalan tentang Islam dalam berbagai bahasa, bukan tentang sejarah Masjid Isa Bey.

Anjuran berpakaian untuk perempuan. Jangan protes, ya 🙂
Buku dan brosur dalam berbagai bahasa.
Interior masjid Isa Bey.

Setelah shalat sunnah, saya memperhatikan sekeliling. Masjid yang sangat sederhana. Tidak ada ornamen heboh, karpetnya bersih, dan sangat sejuk. Melihat interior masjid, saya teringat Grand Mosque yang juga memiliki pola yang sama: ada taman/air mancur/area terbuka di bangunan masjid, ada kayu-kayu coklat di bagian atap masjid, dan tidak ada sekat tertutup antara lelaki dan wanita. Kesamaannya adalah pada lampunya, yakni lampu gantung bertingkat dengan bola lampu kecil yang mengelilingi setiap bulatan. 

Kami di sini hanya 20 menit untuk berfoto dan shalat. Saya tidak sempat membeli souvenir apapun, tidak tertarik juga, sih. Namun, belakangan ini saya mengomeli diri. Mengapa saya tidak merelakan satu atau dua Lira untuk mendapatkan gantungan kunci atau magnet yang bisa mengingatkanku pada kecantikan Masjid Isa Bey ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *