Pertemuan daring terakhir yang membahas mengenai materi iklim dan lingkungan bersama #EcoBloggerSquad ditutup dengan topik biofuel. Sebetulnya pada hari itu saya sedang ada agenda ke Malang dan bisa saja saya absen. Tetapi, saya tetap mengikuti gathering online sambil menjadi navigator untuk suami saya yang menyetir mobil karmadanena saya sangat tertarik dengan topik biofuel ini.
Saya pernah membaca tulisan tentang potensi biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) untuk alih fungsi lahan. Tulisan itu membuat saya kecewa, pasalnya, saya kira BBN ini adalah pure angel untuk menyelamatkan iklim dan membantu mengurangi emisi yang beredar di jalan. Bagaimana mungkin kita mengurangi emisi dengan menyebarkan lebih banyak gas rumah kaca yang beredar ke atmosfer? Sama saja bohong, dong, ya.
Walaupun begitu, BBN tetap layak kita perjuangkan sebagai salah satu solusi dekarbonisasi dalam sektor energi. Apalagi saya lihat pemerintah juga sudah melakukan berbagai upaya besar untuk menaikkan program BBN. Saya yakin hampir dari kita semua sudah sadar dengan kehadiran biofuel, minimal kalau ke pom bensin pasti lihat deh ada pilihan bahan bakar bio solar.
Yang perlu kita ketahui dan terus pantau adalah darimana asal bahan nabati untuk biofuel. Saya percaya sawit (dan turunannya) bukanlah satu-satunya bahan yang potensial untuk BBN. Hanya saja, kalimat saya ini perlu mendapat justifikasi melalui berbagai kajian yang tidak sedikit. Setahu saya, ada beberapa alternatif bahan nabati yang dapat menjadi bahan bakar biofuel.
Saya sendiri belum memakai biofuel karena masalah tipe kendaraan. Kendati demikian, saya akan tetap membagikan sedikit pengetahuan dan pengalaman saya mengikuti gathering online bersama #EcoBloggerSquad tentang biofuel. Saya rasa kamu perlu membaca tulisan ini sampai selesai agar mendapat informasi yang baru tentang bahan bakar nabati. Oh, ya, sedikit bocoran, setelah membaca tulisan ini bisa saja kamu mendapat ide bisnis baru untuk mengumpulkan minyak jelantah sebagai bahan biofuel. Makanya, baca sampai tuntas, ya!
Biofuel Sebagai Alat Dekarbonisasi
Menurut Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2013, bahan bakar nabati atau biofuel adalah bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati dan/atau dihasilkan dari bahan-bahan organik lain yang ditataniagakan sebagai Bahan Bakar Lain. Biofuel ini menurut saya merupakan konsep yang sangat bagus untuk mendekarbonisasi bahan bakar dan mengurangi ketergantungan akan bahan bakar minyak yang non renewable. Kalau kamu belum tahu seperti apa biofuel, sebetulnya bahan ini sudah dapat kita temukan di sekitar seperti biodiesel, bioaftur, dan bioetanol.
Bahan bakar nabati menjadi salah satu strategi dekarbonisasi di Indonesia. BBN muncul dalam beberapa kebijakan. Pertama, pada tahun 2006 inisiasi program BBN dapat kita temui melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN). Kemudian, tahun 2008 kebijakan semakin berkembang dengan pembuatan roadmap BBN. Tahun 2015, program BBN mengalami peningkatan dengan adanya target B30 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Anyway, kebijakan ini terus bertumbuh dan targetnya kian meningkat karena BBN ini juga tidak hanya untuk transportasi saja, tetapi juga untuk berbagai sektor lainnya seperti sektor usaha mikro, industri dan komersial, hingga menjadi pembangkit listrik.
Adanya Paris Agreement yang mengharuskan setiap negara membuat dokumen NDC juga berdampak pada kebijakan terkait BBN. Indonesia memasukkan BBN sebagai salah satu cara untuk menekan emisi di Indonesia dalam dokumen NDC Indonesia pertama. Tahun 2021 ini pemerintah kembali memperbaharui dokumen NDC dan kembali memasukkan biofuel atau BBN dengan fungsi sebagai penurun emisi di Indonesia.
Dari timeline perkembangan BBN, terlihat bahwa BBN memiliki peran yang sentral untuk keamanan energi nasional sekaligus sebagai komitmen atas perubahan iklim. Kebijakan ini menurut saya sudah tepat karena mengingat industri energi adalah penyumbang terbesar kedua Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia.
Melihat Secara Utuh Keberadaan Biofuel Terhadap Komitmen Iklim
Dulu saya kira keberadaan bahan bakar biofuel yang lebih sedikit menghasilkan emisi sudah menjadi solusi yang cerdas untuk menekan karbon di Indonesia. Tetapi, ternyata tidak hanya dalam proses pembakaran yang perlu kita perhatikan. Proses hulu atau bagaimana bahan nabati ini bisa diperoleh juga sangat berpengaruh pada perubahan iklim.
Kak Kukuh dari Yayasan Madani Berkelanjutan membagikan sebuah infografis tentang profil GRK Indonesia. Dapat kita lihat pada gambar di bawah ini bahwa yang tertinggi adalah area yang berwarna oranye. Bagan tersebut merupakan sektor FOLU (Forest and Other Land Use) atau lahan yang menjadi penyumbang emisi terbesar di Indonesia.
Sektor FOLU ini memiliki keteraitan yang erat dengan kebijakan biofuel di Indonesia pada masa depan nanti. Indonesia memiliki target 5% kontribusi BBN terhadap campuran bauran energi nasional pada tahun 2025. Untuk memenuhi target, ada kebutuhan tambahan pembukaan lahan baru seluas 5,15 juta Ha lahan. BBN ini seolah “perlu banget” membuka lahan baru karena di Indonesia biofuel otomatis menjadi biodiesel dan bahan baku pembuatannya adalah kelapa sawit. Dapat dikatakan bahwa pemerintah saat ini hanya mengakui satu feedstock atau bahan baku untuk biofuel yakni kelapa sawit.
Dengan adanya target kontribusi BBN serta ditambah dengan permintaan yang tinggi atas kelapa sawit untuk kebutuhan sehari-hari, mekanisme pasar pun bekerja. Penambahan bahan baku pun pasti akan terus berlangsung dan ekspansi lahan untuk biofuel menjadi ancaman baru untuk iklim.
Poin inilah yang harus menjadi atensi. Deforestasi juga menjadi dampak dari pengembangan BBN yang harus turut kita perhatikan. BBN atau biofuel ini secara konsep sudah bagus, tetapi, bagaimana proses penerapan kebijakan ini berlangsung harus terus kita awasi agar sejalan dengan komitmen iklim Indonesia.
Uni Eropa sendiri menganggap bahwa biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit pada praktiknya memproduksi tiga kali lipat GRK yang dikarenakan oleh deforestasi, kebakaran hutan, dan kerusakan lahan gambut. Masalah selanjutnya adalah PT Pertamina sebagai BUkMN mandatori biodiesel belum mewajibkan pemasoknya memiliki sertifikasi keberlanjutan.
Solusi Segar untuk Kebijakan Biofuel
Ada beberapa solusi yang dapat kita dukung agar bahan bakar biofuel ini tetap baik untuk kita dan lingkungan. Kak Kukuh dari Yayasan Madani Berkelanjutan memaparkan tiga solusi. Pertama, diversifikasi feedstock atau bahan baku untuk biofuel. Misalnya, ada bahan jarak pagar, kemiri, dan lainnya. Diversifikasi feedstock dapat mengurangi ketergantungan kita akan bahan kelapa sawit.
Kedua, peningkatan produktivitas feedstock. Dengan adanya diversifikasi, bisa menekan pembukaan lahan baru sekaligus mengoptimalkan bahan baku lain baik yang bahan pangan maupun non pangan. Sehingga, tidak perlu terjadi “perebutan” bahan baku apakah untuk pangan atau untuk pemenuhan biofuel.
Terakhir, meningkatnya ketelusuran feedstock. Tujuannya adalah agar kita bisa mengetahui darimana asal biofuel yang kita gunakan, apakah dari perusahaan yang telah memiliki sertifikat keberlanjutan atau tidak. Saat ini, kita belum bisa mengetahui karena pemerintah belum menetapkan standar ini sebagai hal yang wajib. Jangankan untuk biofuel, untuk minyak goreng sehari-hari dan bahan sawit untuk kosmetik juga belum ada sustainable certificate-nya.
Perlunya Memanfaatkan Pekebun Sawit Mandiri
Kak Ricky dari Traction Energy Asia memaparkan bahwa ada masalah lain dari biofuel selain persoalan pembukaan lahan baru, yakni rantai pasok untuk menyejahterakan petani swadaya. Kalau kamu sudah membaca tulisanku tentang skincare yang ramah lingkungan dan sosial, pasti paham kenapa kebutuhan bahan nabati yang “ramah sosial” ini juga penting untuk perubahan iklim. Karena kesejahteraan masyarakat lokal yang mengolah lahannya perlu kita jaga. Masyarakat lokal biasanya lebih paham karakteristik lahan di daerahnya dan cenderung melakukan pembukaan perkebunan dalam luas lahan yang kecil.
Saat ini, pekebun sawit mandiri menguasai 40% dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Namun, mereka sama sekali tidak mendapat manfaat dari program biodiesel dan belum masuk dalam rantai pasok biodiesel. Padahal, melibatkan pekebun sawit mandiri dalam rantai pasok ini dapat mengurangi risiko deforstasi dan menjaga hutan alam yang tersisa. Pemerintah bisa mendapat pasokan dari pekebun sawit mandiri sesuai target nasional tanpa harus membuka lahan baru yang biasanya untuk perusahaan swasta.
Minyak Jelantah untuk Biofuel
Minyak jelantah ternyata dapa memenuhi kebutuhan sebanyak 38-60% untuk biofuel di Indonesia. Sayangnya saat ini Pemerintah masih memprioritaskan minyak jelantah untuk ekspor ke Singapura, China, Eropa, dan Amerika. Bahkan, Eropa menggunakan minyak jelantah untuk biodiesel. Kalau tidak percaya, coba buka Google dan masukkan kata kunci “minyak jelantah untuk biodiesel di eropa”. Kok ya sayang banget, Indonesia malah belum mengakui minyak jelantah sebagai bahan biodiesel.
Padahal kalau minyak jelantah ini bisa kita manfaatkan, ada empat manfaat. Mulai dari memenuhi kebutuhan energi dan manfaat lingkungan agar minyak jelantah tidak mencemari tanah atau air. Selain itu, ada pula manfaat kesehatan yakni agar minyak jelantah tidak menjadi minyak goreng daur ulang yang bisa menyebabkan penyakit kardiovaskuler, serta manfaat ekonomi yakni circular economy.
Minyak jelantah ini bisa turut meningkatkan perekonomian lokal karena permintaan ekspor yang tinggi. Seperti yang saya katakan tadi, Eropa memakai minyak jelantai untuk biodiesel. Salah satunya adalah Belanda yang memakai biodiesel campuran minyak jelantah untuk kincir angin. Harga minyak jelantah di Jakarta juga cukup lumayan, sekitar 3000-10.000 per liter.
Jadi, Bunda, kamu bisa segera membuat bisnis sampingan dengan mengumpulkan minyak jelantah di satu kompleks saja, deh. Lalu salurkan ke penerima terdekat. Memang masih perlu survei dulu, ya, untuk melangsungkan aktivitas bisnis ini. Namun, sudah terlihat kan manfaatnya, ada manfaat ekonomi dan lingkungan yang bisa kita dapatkan dalam satu kegiatan.
Penutup
Saya sendiri yang mengikuti gathering online bersama #EcoBloggerSquad cukup takjub ternyata kalau kita bedah bersama, biofuel menyimpan rahasia yang buanyak! Bahkan menyimpan peluang bisnis rumahan juga hihihi. Menurut saya, kita perlu terus mendukung kebijakan BBN di Indonesia sekaligus turut menyuarakan pendapat agar pemerintah mau membuka alternatif feedstock dan mengakui bahan pangan maupun non-pangan lainnya sebagai bahan baku biofuel. Kita tentu tidak mau, kan, gali lobang tutup lobang? Pakai biofuel tapi dengan membuka lahan.
Apakah informasi ini baru bagimu? Atau kamu sudah ada pengalaman menggunakan biofuel? Coba cerita sedikit di kolom komentar, yuk.
Jadi keinget Mbak, minggu lalu kan aku ngejual minyak jelantah ke pengepul. Katanya, minyak itu dikirim dulu ke Malang untuk diolah, baru ke Sidoarjo. Pikirku kok cek emane yo. Maksude andai bisa memersingkat rantai karbon gitu lho, dari Lamongan bisa dipost ke Surabaya/Sidoarjo untuk pengolahannya. Jadi sepertinya ada peluang lho buat yang mau dan bisa mengolah minyak jelantah ini. Karena di masyarakat juga masih banyak yang dibuang sia-sia gitu aja.
Udah banyak sekali memang yg bahas biofuel ini ya. Jujur, saya juga baru tahu beberapa bulan lalu, dari tulisan teman-teman nlogger juga.
Sejauh ini memang mungkin sedang diusahakan ya di Indonesia. Semoga aja lancar, supaya polusi bisa teratasi.
Sepertinya ke depannya bakalan makin banyak kendaraan yang mengakomodasi bahan bakar satu ini di Indonesia, ya. Tapi memang bahan bakar yang bisa diolah sendiri dan memajukan potensi bnyak sektor mestilah diprioritaskan, semoga ke depannya makin banyak digunakan dan jadi imbas baik ke Indonesia sendiri
Masyarakat mesti diinfo/ disosialisasikan soal bahan bakar nabati ini, guna mengurangi berbagai polusi yang bisa mengakibatkan pemanasan global. Dari dapur aja bisa dimulai ya, seperti minyak jelantah yang ternyata bisa dimanfaatkan menjadi produk baru, tidak dibuang begitu saja. Di Eropa memang sudah sangat maju peradabannya, beda dengan negara kita yang masih berkembang 😀
Menarik sekali, baru tau bahwa ternyata minyak jelantah banyak diminati dan dimanfaatkan oleh luar negeri bahkan oleh negara sebesar dan semaju Belanda yang terkenal dengan kincir anginnya.
Bener sih, jadi tertarik untuk memulai ide pengumpulan minyak jelantah di sekitar kompleks dan rumah nih jadinya.
Terimakasih banyak untuk tulisan yang cukup menggugah dan nikmat dibaca ini Kak
Jujur aku sangat suka dengan tulisan ini bunda, jadi memperluar pengetahuan aku tentang biofuel diindonesia. Personally, aku orang yg mendukung segala kegiatan yg bertujuan uk melestarikan lingkungan. Akan sangat bagus jika biofuel ini bs menggunakan minyak jelantah atau tanpa membuka lahan baru. Smoga pemerintah melakukan yg terbaik
Banyak nambah ilmu baru nih termasuk mengelola minyak jelantah, ternyata berguna juga ya dan dikelola. Wah, aku tahunya dibuat sabun aja ama ibu-ibu dekat rumahku.
Iya ternyata dari satu mafia ke mafia lainnya aja ternyata, padahal cina aja engga mau pake karena merusak lahan banget. Duhhhhhh
Aku baru dengar sekilas tentang biofuel ini, sayangnya yang mengelola minyak jelantah itu belum ada di dekat tempat tinggal aku.
Wah kalau di sini sudah jarang banget yang pakai minyak jelantah. Mayoritas sudah pakai minyak goreng yang ada mereknya itu
Terimakasih atas artikelnya Mba.. Alhamdulillah setahun ini kami mengumpulkan minyak jelantah lalu diserahkan ke bank sampah untuk diolah atau diserahkan ke rekan yang bergerak di bidang biofuel. Semoga semakin banyak masyarakat yang mulai tersadarkan tentang potensi biofuel ini utk alternatif bahan bakar.
wah baru denger kalo ada jenis bahan bakar nabati, ternyata saya yg kurang update ini mb. Oh ya, apakaha sudah ada penerapanya secara resmi di Indonesia ya?
Pingback: Fortune Indonesia Summit 2022 dan Masa Depan Perekonomian Bangsa