
Iba. Itulah yang tersemat di sanubari Yoga ketika mendengar curhat sahabat tentang ayahnya yang tak pulang semalaman. Pergi semalaman ke laut, tentu berbeda dengan di darat. Di laut, jika ada musibah, susah untuk meminta bantuan karena nihil sinyal. Perasaan kalut dan waswas yang menyelimuti hati sahabat, menular padanya. Mata hati Yoga terbuka oleh kisah para sahabatnya tentang peliknya jadi anak nelayan. Sudah pendapatan pas-pasan, nyawa pun jadi taruhan.
Yoga pun menyadari bahwa kehidupan para nelayan ini bertolak belakang dengan gempita wisata Bali, tanah kelahiran yang ia banggakan. Para nelayan tradisional ini menjadi pemasok ikan untuk menghidupkan industri kuliner di Bali. Namun, mereka menjalani hidup yang memprihatinkan. Pendapatan harian nelayan tidak sampai Rp 50.000. Belum lagi jika mereka harus menghadapi tantangan berupa tidak stabilnya hasil tangkapan ikan. Dengan kondisi yang serba susah dan terbatas ini, komunitas nelayan tradisional Bali kekurangan generasi muda yang mau meneruskan pekerjaan sebagai nelayan tradisional. Bahkan para nelayan pun melarang anaknya untuk melaut karena khawatir hidupnya jauh dari makmur.
“Aku harus bergerak,” pikir Yoga. Yoga menduga hasil tangkapan nelayan kurang optimal karena peralatan mereka yang masih sangat sederhana. Sarjana Kelautan dari Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Udayana ini optimis bahwa nelayan tradisional bisa lebih sejahtera jika mereka bisa mendapatkan tangkapan ikan yang lebih banyak dalam waktu yang dapat diperkirakan. Pemikiran ini muncul begitu saja, meski Yoga belum tahu bagaimana caranya.
Perlahan tapi pasti, keinginan tulus itu bergerak mencari jalan sebagaimana akar yang keluar dari benih dan menyusup ke dalam tanah, mencari sari makanan untuk memulai kehidupan. Hasrat yang semula begitu abstrak, mulai berbentuk menjadi embrio ide ketika Yoga dan kawan-kawannya melakukan KKN di Balai Penelitian dan Observasi Laut di daerah Jembrana, Bali. Yoga belajar tentang pemanfaatan teknologi remote sensing atau penginderaan jarak jauh dan modeling oseanografi yang implementasinya ditujukan pada ekosistem pesisir. Di tempat inilah Yoga tersadar bahwa daerah potensi penangkapan ikan dapat diprediksi melalui citra satelit yang memiliki data lengkap tentang ikan sesuai karakternya, misalnya ikan yang gemar bergerombol, lokasi pencarian makan, dan lain sebagainya.
Hasil akhir dari kegiatan ini seharusnya cukup menjadi sebuah laporan. Akan tetapi, tidak di tangan Yoga. Dia sadar bahwa temuan berharga ini bisa menjadi solusi dari masalah yang mengusik pikirannya tentang nelayan tradisional. Ia dan teman-temannya pun memutuskan untuk mengembangkan laporan kegiatan menjadi sebuah karya tulis yang konkrit. Bagai ibu yang merawat janinnya, Yoga mengurus embrio ini dengan telaten. Dia memberi asupan nutrisi berupa teori dan data yang memadai.
“Anak Muda Bisa Apa?”
Sembari membesarkan “Si Embrio”, Yoga melakukan aktivitas layaknya anak kuliahan seusianya. Ia juga gemar bermain permainan viral seperti Pokemon Go. Di tengah keasyikanya menangkap Pokemon virtual itu, satu ide cemerlang mampir ke otaknya. Ide ini membuatnya memberi nama “Si Embrio” menjadi FishGo.
Apabila Pokemon Go mengandalkan GPS dan augmented reality untuk berjalan-jalan di dunia nyata menangkap monster virtual, aplikasi buatan Yoga dan kawan-kawan ini mengombinasikan berbagai elemen dan mengintegrasikan kebutuhan nelayan atas penyediaan informasi daerah potensial penangkapan untuk beberapa spesies ikan, rute penangkapan yang aman, dan waktu penangkapan terbaik. FishGo membangun sistem yang dapat memprediksi kapan ikan datang, lokasi munculnya ikan, dan berbagai kausa yang membuat ikan bisa datang ke suatu titik, seperti banyaknya makanan, gelombang air laut, cuaca, kondisi air laut, dan lain sebagainya. Data dan prediksi ini dapat membantu nelayan mengestimasi bahan bakar yang akan digunakan. Sistem ini memungkinkan nelayan untuk mendapatkan tangkapan yang lebih melimpah, bahan bakar yang hemat, risiko yang dikurangi, dan cuan yang lebih berlipat.
Gagasan ini sangat cemerlang, khas anak muda yang melihat teknologi sebagai peluang untuk mengentaskan permasalahan. Jantung Sang Embrio ini telah berdenyut dan berkembang. Ia telah memiliki nama dan visi yang jelas, siap untuk hidup dan memberi manfaat.



Namun, ada satu hal yang tidak boleh diabaikan dari sebuah aplikasi yakni kelayakan implementasi. Inilah tantangan terbesar Yoga pada masa awal pengembangan FishGo. Pengguna utama FishGo adalah nelayan tradisional yang umumnya tidak memiliki smartphone. Jika sedang melaut, mereka lebih suka mengunakan handphone jadul. Apalah arti kecanggihan FishGo jika tidak ada nelayan yang mau menggunakan.
Sandungan demi sandugan mulai tampak. FishGo ditolak oleh sebagian besar nelayan. Alih-alih duduk dan mendengar sosialisasi, berkumpul saja nelayan sudah enggan. Lagipula, siapa Yoga sehingga ia layak didengar oleh nelayan yang sudah puluhan tahun hafal dengan lika-liku arus laut? Yoga hanyalah anak muda yang kala itu masih kuliah dan minim pengalaman melaut. Bagi nelayan, metode rasi bintang dan insting untuk mengetahui keberadaan ikan lebih dapat dipercaya dan telah teruji puluhan tahun.
Resistensi dari nelayan itu sempat memukul mundur Yoga. Jalan memang tidak selalu mulus, Yoga paham betul tentang hal itu. Sebelum menjadi mahasiswa FPK Udayana dan merancang FishGo, lelaki kelahiran tahun 1996 ini pernah bercita-cita masuk ke dunia pertambangan dan perminyakan. Namun, derap langkah harus berhenti karena Yoga gagal masuk ke perguruan tinggi yang ia idam-idamkan. Kekecewaan ini menuntunnya kembali ke Bali dan melanjutkan studi di Universitas Udayana.
Di kampus ini, ia menemukan kembali hasratnya pada dunia kebumian ketika menyaksikan ada persoalan yang dialami nelayan tradisional. Sekarang, buah dari keuletannya belajar telah lahir, berbentuk, dan memiliki nama. Seperti bayi yang baru lahir, FishGo memang belum terlatih untuk berjalan. Satu yang ia butuhkan hanyalah waktu yang tepat dan sebuah kesempatan. Penolakan nelayan di depan, tidak akan membuatnya menaikkan bendera putih begitu saja. Baginya, tantangan bukan untuk dijauhi, melainkan untuk dihadapi.
Pintu Harapan itu Bernama Kerjasama
Pemuda bernama lengkap I Gede Merta Yoga Pratama ini terus menyalakan lentera agar FishGo dapat berjalan. Ia yakin, ketika satu jalan satu tertutup, jalan lain akan terbuka. Yoga dan kawan-kawannya menjejaki peluang kolaborasi di berbagai sektor, mulai dari swasta hingga pemerintah.
Kebetulan, pada tahun 2017, Pemerintah Kabupaten Badung melalui Balitbang Badung menyelenggarakan Innovation Festival. Tergugahlah ia untuk mendaftarkan gagasannya pada tema ekonomi masyarakat pesisir. Dengan keteguhan yang kuat dan ide yang solutif, FishGo berhasil meraih juara pertama. Acara ini rupanya tidak sekadar selebrasi. Tak lama kemudian, FishGo “dikontrak” oleh Pemkab Badung. Ia bersama teman-temannya yang menjadi tenaga ahli aplikasi juga turut bekerja penuh waktu di Kabupaten Badung.
Kerjasama dengan Pemkab Badung ini menjadi “hadiah” yang besar bagi Yoga dan tim FishGo. Industri wisata di Kabupaten Badung memiliki daya tarik yang kuat, sebut saja Pantai Nusa Dua, Tanjung Benoa, Pantai Pandawa, Uluwatu, Pantai Kuta, dan Pantai Jimbaran. Banyak pula jejeran restoran tepi pantai yang menawarkan hidangan seafood yang lezat. Wajar jika salah satu atraksi kuliner Badung adalah hidangan laut, sebab, di Badung terdapat pasar ikan terbesar di Bali yakni di Pasar Ikan Kedonganan. Akses untuk memperoleh ikan segar pun sangat mudah dan nyaris tak ada halangan.
Namun, pada sisi lain, kondisi nelayan Badung sebagai pemasok ikan bertolak belakang. Sebanyak 1860 nelayan tradisional di Badung masih mengandalkan peralatan yang sederhana. Hasil tangkapan ikan pun tak menentu dan berujung pada pendapatan yang tak seberapa. Di sinilah optimisme Yoga kian meningkat dan memandang Badung sebagai tempat yang tepat untuk memulai perjalanan FishGo bersama para nelayan.

Nelayan Sejahtera, Lingkungan Terjaga
Kerjasama FishGo dengan Pemkab Badung dengan cepat meruntuhkan tembok tebal yang menjadi penghalang antara FishGo dengan nelayan. Ia dibantu oleh pemerintah daerah untuk mengontak para camat. Selanjutnya, para camat dengan sigap menginstruksikan para ketua adat maupun ketua kelompok nelayan untuk berkumpul menerima sosialisasi dari FishGo. Komunikasi dengan nelayan pun menjadi lebih mudah. Bahkan, Yoga dan kawan-kawannya kerap ikut nelayan melaut untuk mengarahkan penggunaan aplikasi kepada nelayan.
Sebelum memakai FishGo, nelayan pernah mengeluh pada Yoga bahwa metode penangkapan tradisional rupanya tak lagi menjanjikan akibat perubahan iklim. Nelayan mengakui adanya perubahan spot ikan lemuru yang semula berpusat di sekitar Bandara Ngurah Rai jadi berpindah ke area selatan Uluwatu. Setelah menggunakan FishGo, hasil tangkapan nelayan pun meningkat drastis, dari rata-rata perhari sebanyak 40 kg, kini bisa mencapai 100 kg.
Pemakaian aplikasi yang lebih sering membuat Yoga mengetahui kekurangan aplikasi dan timbal balik dari para nelayan. Pada awal penggunaan, nelayan sempat mengeluh salah prediksi, salah tangkap, dan ketidakmampuan aplikasi untuk mendeteksi ikan pada malam hari. Dengan segera Yoga dan timnya menambah delapan fitur baru yang mampu menutup cela pada FishGo. FishGo yang dulunya hanya bisa mendeteksi dua spesies ikan yakni lemuru dan tongkol, kini, mampu mendeteksi dua spesies lain yakni ikan kenyar dan ikan lanyur. Fitur lain yang ditambahkan adalah fitur Pasang Surut, Cuaca, Tambah Jenis Ikan, Laporan nelayan, Pantau User, Penjualan, IoT, dan SOS. Video di bawah ini merupakan uji akurasi fitur IoT saat penangkapan ikan pada akhir Oktober 2020 lalu.
Ada beberapa kisah menarik dibalik penambahan fitur ini. Pertama tentang penambahan fitur SOS. Lagi-lagi, rasa empati Yoga terpantik lantaran mendengar ada kakak kelasnya yang seorang penyelam, hilang di laut. Yoga berharap, aplikasinya kelak tidak hanya dapat digunakan para nelayan tetapi juga oleh siapapun yang nyemplung di industri perikanan dan kelautan. Kemudian kedua, fitur IoT. Fitur ini merupakan kerjasama FishGo dengan Universitas Udayana. Fungsinya adalah untuk menghasilkan alat yang memancarkan gelombang akustik (sonar) untuk mendeteksi kedalaman dan biomassa ikan terutama pada malam hari. Terakhir, fitur Pantau User. Fitur ini membantu ketua nelayan memantau siapa saja anak buahnya yang berangkat melaut.
Untuk meminimalisasi perselisihan antar nelayan dalam menemukan ikan, FishGo melakukan pembatasan kepemilikan akun pada tiap kelompok. Kebijakan FishGo ini menarik karena Yoga memerhatikan kultur nelayan yang bekerja secara berkelompok. Selain itu, ada pula pembatasan area yang membuat nelayan di Badung hanya bisa melihat ikan di area sekitar Badung saja, tidak bisa melihat di area lain seperti Karangasem atau ikan di Selat Lombok. Pembatasan ini merupakan bentuk dukungan FishGo terhadap konsep perikanan yang berkelanjutan, menjaga biodiversitas, dan mencegah overfishing agar ikan tidak diambil dalam kondisi belum siap tangkap.
-
- Penggunaan aplikasi FishGo dan fitur tambahan (sumber: materi presentasi Kepala Balitbang Kab. Badung)
-
- Peningkatan kesejahteraan nelayan tradisional (sumber: materi presentasi Kepala Balitbang Kab. Badung)
-
- Yoga rutin memantau hasil tangkapan para nelayan (sumber: materi presentasi Kepala Balitbang Kab. Badung)
Mempertebal Barisan Nelayan Digital
Pada titik ini, Yoga dan FishGo telah berhasil menjawab masalah kesejahteraan nelayan tradisional. Tetapi, sebagaimana kehidupan, masalah-masalah baru terus bermunculan. Saat pandemi ini misalnya, FishGo dan nelayan termasuk yang terkena imbas. FishGo harus menunda kerjasama dengan sejumlah lembaga dan daerah. Tahun 2019 lalu, FishGo berhasil melakukan pertemuan awal untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, serta audiensi dengan Kementerian Kominfo dan KLHK. Menurut Yoga, mereka telah mengantongi sistem kerja FishGo dan menunjukkan minat serta apresiasi. Namun, penerapannya terpaksa tertunda karena pandemi. Sementara di kalangan nelayan, realitanya pun tak kalah rumit. Mereka kehilangan konsumen potensial akibat tutupnya restoran dan hotel di Bali.
Boleh jadi Yoga belum bisa mengepakkan sayap FishGo ke daerah lain dan belum mampu memberi solusi cepat untuk nelayan. Tetapi, secercah harapan tetap datang dan melambaikan tangan. Lelaki yang gemar bermusik ini mendapatkan dukungan yang besar dari berbagai pihak. Tanggal 15 Desember lalu, Pemkab Badung melalui Balitbang Badung telah meresmikan aplikasi FishGo untuk membantu meningkatkan hasil tangkapan dan kesejahteraan nelayan tradisional di Kabupaten Badung. Pada kesempatan ini, Yoga menjembatani nelayan untuk menjual ikan kepada para pejabat yang hadir.

Selain itu, Yoga juga mendapat penghargaan SATU Indonesia Awards 2020 pada kategori teknologi. Yoga mengaku sangat bersyukur dengan dua berkah pada tahun 2020 ini, sebab, mempermudah Yoga untuk menggandeng berbagai pihak untuk menyempurnakan FishGo.
Bagi Yoga, penghargaan SATU Indonesia Awards 2020 dari Astra merupakan pintu yang besar untuk peluang kolaborasi. Yoga mengaku telah dikontak beberapa lembaga dan industri untuk bekerjasama dengan FishGo sejak ia menjadi penerima penghargaan bergengsi tersebut. Bersama Astra, Yoga yakin akan mendapat pembinaan ilmu dan materi secara berkelanjutan untuk mengembangkan FishGo dan merealisasikan visinya akan kemajuan dunia perikanan dan kelautan Indonesia.
Founder FishGo ini berharap agar penghargaan ini dapat menggugah anak muda lainnya untuk bangkit. Melalui FishGo, Yoga dan timnya telah berhasil mengentaskan beberapa permasalahan nelayan. Masih ada puluhan problem lainnya yang belum tersentuh. Salah satunya adalah persoalan distribusi, pasar baru yang potensial untuk nelayan, dan pengemasan ikan agar bisa bertahan lebih lama, misalnya pembekuan dan pengolahan ikan siap saji. Saat ini, nelayan di Bali belum mampu melakukannya karena keterbatasan peralatan. Mimpi yang besar itu, menurutnya, tidak dapat ia lakukan sendirian. Ia sangat menantikan gandengan tangan dari rekan sebayanya yang memiliki ide-ide segar dan aplikatif.
Semula, FishGo “hanya” ditujukan untuk kesejahteraan nelayan. Kini, untuk memberi semangat dan menyalurkan optimisme pada pemuda di Indonesia, ia memperluas visi. Lebih rinci, Yoga ingin membangkitkan para “nelayan berdasi” dan nelayan digital. Kampanye ini merupakan langkahnya untuk mengangkat derajat pekerjaan nelayan agar tidak dipandang sebelah mata. Selain itu, juga untuk membuka mata dunia bahwa nelayan Indonesia, khususnya di Bali untuk saat ini, sudah go digital.
“Saya ingin mengubah persepsi, jadi nelayan itu juga bisa seperti pekerja kantoran, bisa kaya dan sejahtera. Apalagi sekarang ada teknologinya. Saya harap banyak anak muda yang mau terjun ke lapangan, membangun dunia perikanan dan kelautan Indonesia bersama-sama,” tuturnya.
Hati saya pun bergetar mendengarkan Yoga menyampaikan visinya dengan gamblang. Rasa penasaran saya pun hadir, bagaimana caranya membangkitkan para “nelayan digital” ini?
“Melalui bukti. Kita bekerja dan tunjukkan bahwa nelayan dan berbagai pekerjaan di seputar perikanan bisa sejahtera. Anak muda tidak perlu jauh-jauh, Indonesia masih punya banyak persoalan yang membutuhkan gagasan tangan terampil kita,” ungkapnya.






Saya kembali tergelitik untuk mengajukan pertanyaan terakhir padanya. Pernahkah ia lelah? Di usianya yang masih muda dan baru lulus kuliah, apalagi dengan prestasi yang begitu menyilaukan, sejumlah pekerjaan menjanjikan pasti datang dengan sendirinya. Ia bisa saja memilih untuk duduk manis menjalani pekerjaaan dengan gaji yang lebih jelas dan pasti tanpa perlu repot-repot mengatur strategi pengembangan aplikasi, pengembangan produk, relasi dengan pemerintah, memikirkan nelayan, dan berbagai ketidakpastian lainnya dalam dunia bisnis. Yoga pun sempat mengakui bahwa salah satu tantangan pada pengembangan FishGo ini ada pada area. Untuk menambah jangkauan area tidaklah mudah, harus mengumpulakan berbagai data di laut sebelum dapat digunakan untuk area tertentu.
Pertanyaan penutup ini tidak langsung dijawab oleh Yoga. Saya dapat mendengar tawa kecil dan keheningan sejenak, pertanda ia sedang memikirkan jawaban.
“Pertanyaan yang menarik, Mbak,” ujar lelaki kelahiran Buleleng ini. “Saya meyakini bahwa sukses tidak sekadar jabatan. Saya percaya kalau saya berbuat dengan tujuan yang baik, jalan akan terbuka dengan sendirinya. Saya dulu memulai FishGo hanya dengan tiga orang, kini ada 13 orang. Semua punya gaji bulanan, sebuah perkara besar yang dulu tidak pernah saya pikirkan. Saya optimis, semua pasti bisa terus berjalan asal kita fokus dan persisten,” lanjutnya.
Detik selanjutnya, Yoga berkisah bahwa FishGo telah menerbangkan ia ke Spanyol dan memudahkan ia mendapat beasiswa S2. Membesarkan FishGo yang awalnya dia peruntukkan untuk nelayan, rupanya membawa manfaat dan pengalaman yang sangat berharga untuknya.
“Bagi saya, menjadi nelayan digital seperti ini sudah cukup membanggakan,” ucapnya.
Obrolan via telepon antara saya dengan Yoga ini hanya berlangsung 30 menit. Tetapi, cukup bagi saya untuk mendapatkan percikan energi yang begitu menggugah. Saya dapat membayangkan senyum bangga yang tersungging di seberang sana. Debur energi Yoga dan FishGO terasa tulus serta penuh rasa optimis. Ada sekelumit rasa percaya di hati saya, di masa depan nanti, Indonesia dapat mengandalkan anak-anak mudanya.
Wahh keren banget Bli Yoga! Semangat terus ya memberdayakan bangsa semoga suatu saat bisa menjadi agen perubahan dan mentri kelautan ihihihi
keren banget yaaa, bisa ke spanyol dan bisa sampe dapet beasiswa s2 juga, profesi nelayan ini salah satu profesi yang bikin aku kagum banget, apalagi nelayan traditional yang hanya menggunakan peahu kecil, semoga mereka semua selalu dilindungi dan diberi kesehatan 🙂
ini nih yang harus diviralkan dan juga didukung dengan sepenuh hati oleh semua aspek kalangan masyarakat, pemuda cerdas yang membanggakan, keren inovasinya semoga menginspirasi pemuda lainnya, jadi ingat nam do san di drama, ini nih versi dunia nyatanya
Keren sekali ini Yoga memberikan kontribusi yang terbaik juga. Dan dengan perkembangan masa, serba digital ini sayanng jika terlewatkan ya mba. Inovatif!
teknologi digital pun sudah merambah ke industri nelayan untuk membantu menangkap ikan ya. keren banget
Keren banget bli Yoga bisa menciptakan fishgo yang sangat dibutuhkan nelayan, semoga anak-anak muda lainnya bisa kreatif lagi menciptakan yg lebih bermanfaat lagi pada masyarakat
Bagus banget mas yoga, kreatif. Tapi aku mau curhat sedikit karena aku sering mantai di tanjung lesung dan sekitar nya. Memang banyak nelayan disitu, tapi sinyal tidak ada. Semoga fishgo bisa dipakai offline juga dan juga memberikan perhatian kepada nelayan nelayan di tanjung lesung juga
wahhh keren banget ya, kreatif juga. membantu nelayan banget ini, semoga fishgo makin di kenal banyak orang dan bisa di pakai offline.
Walau di awal nelayan-nelayan tak begitu saja dengan mudah menerima kehadiran fish go, tapi lambat laun mereka mendapatkan manfaatnya ya. Mantab yoga!
keren banget ya, harusnya anak generasi muda itu seperti ini berprestasi dan memiliki kreatifitas tinggi, dan pastinya idenya ini akan sangat bermanfaat bagi banyak orang, mari kita isi diri kita dengan keahlian dan semoga para nelayan makin berkembang dengan adanya Fishgo
Bagus sekali apps Fish Go.
Terpukau…zaman digital, dengan teknologi semua bisa dimanfaatkan dengan baik.
Tapi apakah di laut lepas tetap bisa mendapatkan sinyal?
Suami aku sering bgt mancing atau jaring ikan ke laut. Tiap x dia pergi aku selalu was2. Dilarang tapi dia ttp kekeuh karna hobi. Hadehh
keren banget si cerita si Yoga ini, benar2 bisa mengembangkan teknologi untuk membantu orang lain, memang pasti berat diawal, tapi pada akhirnya juga memetik hasil yang setimpal. semangat terus Yoga dkk
keren banget nih merta dengan aplikasi fish go-nya. semoga semakin banyak anak muda yang seperti merta yoga ya mbak. mampu berinovasi dan memberikan sumbangsih yang besar untuk masyarakat
Keren banget nih bli Yoga masih muda sdh membantu perekonomian rakyat masyarakat bali dan setempat pasti terbantu banget dengan adanya aplikasi ini